Reporter: Diki Mardiansyah, Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
JAKARTA. Rencana sang miliader Elon Musk untuk berbisnis layanan internet berbasis satelit di Indonesia melalui Starlink menimbulkan polemik. Di samping masih terkendala soal perizinan, eksistensi Starlink bisa mempengaruhi persaingan industri telekomunikasi nasional.
Starlink disebut-sebut sudah bersiap masuk ke Indonesia. Bahkan, mereka telah membentuk perusahaan bernama PT Starlink Service Indonesia. Masalahnya, Starlink diisukan ingin beroperasi seperti layanan over the top (OTT) tanpa melibatkan tenaga kerja lokal.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyampaikan, rencana masuknya Starlink ke Indonesia masih dalam tahap penjajakan. Yang jelas, Starlink harus mengikuti prosedur yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga: Starlink Masuk Indonesia, Peluang Emiten Telko Garap B2B Makin Besar
Ini sesuai dengan PP Nomor 5/2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan aturan teknis lain mengenai penyelenggaraan usaha telekomunikasi.
"Ada beberapa jenis penyelenggaraan yang syarat-syaratnya harus Starlink penuhi," ujar Ketua Tim Jaringan Telekomunikasi Kemkominfo Aditya Iskandar kepada KONTAN, Kamis (21/9).
Prosedur ketat yang diterapkan pemerintah ke Starlink bertujuan supaya perusahaan ini memiliki level playing field yang sama dengan perusahaan telekomunikasi lokal.
Baca Juga: Starlink akan Masuk Indonesia, Ini Komentar Pengamat
Pemerintah juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap aspek keamanan siber negara ketika memproses izin usaha Starlink di Indonesia.
Tarif murah
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia Muhammad Arif Angga mengingatkan, supaya ekspansi Starlink jangan sampai melupakan asas kebermanfaatan bersama. Artinya, mereka harus tetap melibatkan tenaga kerja lokal dalam berbisnis di Indonesia.
Kehadiran Starlink dinilai APJII bisa meningkatkan tensi persaingan bisnis jasa internet di Indonesia. Tekanan akibat ekspansi Starlink kemungkinan besar akan dirasakan oleh para pemain jasa internet berskala kecil atau menengah.
Baca Juga: Menjaga Ketahanan dan Keamanan Siber, Indonesia Harus Memiliki Strategi Khusus
Wajar saja pelaku usaha lokal was-was dengan Starlink. Pasalnya, tarif internet Starlink ternyata cukup terjangkau. Di Rwanda misalnya, Starlink menyediakan layanan internet berkecepatan 200 Mbps dengan tarif US$ 20 per bulan atau setara Rp 307.500 (acuan kurs Rp 15.375 per dollar AS).
"Keberadaan Starlink juga dapat menimbulkan risiko ketergantungan infrastruktur terhadap pemain global, yang mungkin berdampak pada kedaulatan siber nasional," ungkap Arif, Kamis (21/9).
Makanya, para pemain jasa internet nasional dituntut mengedepankan keunggulan lokal dan terus berinovasi dengan berlandaskan aspek keberlanjutan. Hal ini demi meningkatkan kualitas layanan dan terciptanya tawaran paket internet dengan tarif kompetitif kepada konsumen.
Baca Juga: Sinergi Telkom (TLKM) dan Starlink Elon Musk Bakal Jadi Sentimen Positif
Di sisi lain, pelaku usaha lokal tetap harus terbuka untuk bekerja sama dengan Starlink demi mencapai tujuan layanan internet yang lebih berkualitas. Di atas kertas, kehadiran Starlink dapat mendorong aksesibilitas internet di daerah terpencil yang selama ini sukar dipenuhi oleh pebisnis jasa internet lokal.
"Starlink juga bisa mendorong digitalisasi di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan UMKM di daerah terpencil," imbuh Arif.
Group Head Corporate Communications PT XL Axiata Tbk (EXCL) Retno Wulan menganggap kehadiran Starlink di Indonesia akan memberikan beragam pilihan teknologi yang dapat mendukung para operator untuk dapat menyediakan layanan internet berkecepatan tinggi, khususnya di beberapa wilayah pelosok Tanah Air melalui penyediaan backhaul.
Baca Juga: Starlink Bakal Ekspansi ke Indonesia, Begini Respons Pelaku Industri Telekomunikasi
Namun, bila Starlink melakukan kegiatan bisnis berupa penyediaan layanan internet secara langsung kepada konsumen akhir atau bersaing dengan operator jasa internet lainnya, maka diperlukan regulasi yang seimbang dari pemerintah.
"Aturan yang kuat bisa menciptakan kerja sama yang adil antara penyelenggara telekomunikasi dan OTT dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat," jelas dia, Kamis (21/9)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News