kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tanggapan pelaku industri tambang atas wajib DHE


Rabu, 21 November 2018 / 10:47 WIB
Tanggapan pelaku industri tambang atas wajib DHE
ILUSTRASI. Bongkar muat batu bara dari kapal ke truk


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada pekan ini, pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) ditargetkan selesai.

Aturan ini merupakan penegasan bahwa bidang usaha hasil pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan wajib menempatkan DHE ke dalam Sistem Keuangan Indonesia (SKI).

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, penempatan DHE ke dalam SKI sejatinya bukanlah hal yang baru di bidang usaha pertambangan batubara, karena sebelumnya juga ada sejumlah peraturan dengan poin serupa.

“Pada prinsipnya ini bukan hal yang baru, saya kira hampir semua perusahaan (pertambangan batubara) sudah comply dengan aturan tersebut,” kata Hendra saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (20/11).

Adapun, peraturan serupa yang dimaksud Hendra adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri serta Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018 dan Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan Nomor 102 Tahun 2018, di mana kedua peraturan yang terbit pada September lalu itu pada pokoknya mewajibkan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) untuk menggunakan letter of credit (L/C) dan mengembalikan sepenuhnya hasil penjualan ekspor melalui rekening perbankan dalam negeri.

“Nah bedanya, dalam kebijakan (baru) ini, sanksi dipertegas dan ada insentif, yang saya kira akan positif, karena lebih menarik,” imbuhnya.

Dalam aturan ini, pemerintah memang akan memberikan insentif pajak penghasilan (PPh) bagi bunga deposito untuk DHE SDA yang ditempatkan pada bank devisa dalam negeri. Rinciannya, bunga deposito DHE SDA yang dikonversi ke rupiah selama satu bulan sebesar 7,5%, tiga bulan sebesar 5%, dan 0% untuk yang enam bulan atau lebih.

Sedangkan untuk bunga deposito DHE SDA yang tidak dikonversi ke rupiah (dalam US$) akan mendapatkan 10% untuk satu bulan, 7,5% untuk tiga bulan, 2,5% untuk enam bulan, dan 0% untuk yang lebih dari enam bulan.

Insentif ini diberikan pemerintah dengan harapan agar DHE yang dimasukkan ke dalam bank devisa dalam negeri bisa lebih lama dan konversi ke dalam rupiah bisa meningkat. Sebab, meskipun saat ini DHE yang masuk ke dalam negeri sudah sekitar 90%, namun yang dikonversikan ke rupiah baru ada di angka 15%.

Menurut Hendra, alasan masih adanya perusahaan yang belum menempatkan DHE di dalam negeri, bisa jadi karena perusahaan yang bersangkutan memiliki kontrak tertentu dengan mitra bisnisnya di luar negeri.

Jika demikian, Hendra bilang, perjanjian tersebut tidak serta-merta bisa dibatalkan, sehingga perusahaan membutuhkan waktu untuk mengubahnya.

“Kita tak menutup kemungkinan ada yang belum comply. Kemungkinan karena sudah etrikat perjanjian dengan buyer di luar (negeri), yang tidak bisa serta-merta diubah,” ungkapnya.

Adapun, dalam aturan ini, pemerintah akan memberikan tenggang waktu, pada penggunaan DHE SDA yang dilakukan melalui escrow account di luar negeri, wajib dipindahkan ke bank devisa dalam negeri, paling lama 90 hari sejak PP DHE SDA diterbitkan.

Hendra menilai, tenggang waktu tersebut cukup rasional, dan seharusnya cukup bagi perusahaan untuk memindahkan DHE-nya ke bank devisa dalam negeri. “Saya tidak bisa memastikan apakah cukup atau tidak, tapi secara teori harusnya bisa,” imbuhnya.

Jika sampai batas waktu perusahaan tidak mengikuti aturan yang berlaku, maka sanksi pun siap menimpa, yakni berupa tidak dapat melakukan ekspor, denda, hingga pencabutan izin usaha.

Namun, menurut Hendra, sanksi yang diancamkan tersebut tergolong sangat berat dan bisa mengundang kekhawatiran dari sisi dunia usaha.

“Dari sisi sanksi bisa mengkhawatirkan, berat sekali, di tengah perusahaan yang di dorong untuk ekspor,” katanya.

Di sisi lain, soal konversi ke dalam rupiah, Hendra menjelaskan, hal itu akan sangat bergantung kepada kebutuhan perusahaan terhadap mata uang lainnya, terutama dollar Amerika Serikat.

Sebab, perusahaan juga harus memiliki cadangan dollar yang cukup untuk membayar kewajiban serta memenuhi kebutuhan operasional perusahaan.

“Setiap perusahaan nggak akan sama, tergantung eksposur terhadap dollar, karena banyak kewajiban dan kebutuhan operasional perusahaan yang memang prever pakai dollar,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Keuangan ABM Investama Adrian Erlangga, yang menilai wajar saja jika perusahaan tidak sepenuhnya mengonversi kepada rupiah. Kendati demikian, Adrian menyebut bahwa pihaknya telah menjalankan aturan DHE ini, dengan 100% membawanya kembali ke dalam negeri.

“Apakah bisa DHE disimpan untuk jangka waktu tersebut, atau butuhnya lebih cepat dari itu, Semuanya akan tergantung pada posisi keuangan setiap perusahaan, gimana cash flow-nya masing-masing,” kata Adrian.

Yang jelas, baik Hendra maupun Adrian, sama-sama sepakat bahwa pemberian insentif membuat kewajiban ini lebih menarik. Sehingga, perusahaan yang tertarik untuk menempatkan DHE dengan periode yang lama dan mengkonversinya ke rupiah, bisa mengalami peningkatan.

“Saya pikir positif dengan memberikan kemudahan dan insentif pajak untuk menarik minat agar disimpan dalam waktu yang lebih lama dan dikonversi ke rupiah,” tambah Adrian.

Selain itu, mengingat komoditas pertambangan batubara ini bersifat sangat fluktuatif, menurut Adrian, pemerintah perlu responsif untuk membuat kebijakan yang mendukung dunia usaha. Ia mencontohkan, seperti saat ini, ketika harga mengalami tren penurunan sebagai akibat menurunnya permintaan dari China, idealnya ada insentif untuk devisa dan pajak.

“Pemerintah harus membuat kebijakan yang mengakomodasi hal-hal seperti ini, apalagi sifat dari komoditas ini yang sangat berfluktuasi,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×