Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif impor resiprokal sebesar 19% terhadap produk dari Indonesia per Kamis (7/8), sebagaimana diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Meskipun demikian, pelaku ekspor nasional menilai kebijakan ini masih memberikan ruang bagi produk Indonesia untuk tetap bersaing di pasar global dengan catatan ada pembenahan dari sisi domestik.
Sekretaris Jenderal DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro menyampaikan bahwa pihaknya menghargai langkah pemerintah dalam melobi agar Indonesia masuk dalam kelompok negara yang dikenakan tarif 19%, bukan lebih tinggi seperti sebelumnya.
“Secara jujur kami bersyukur atas kekuatan lobi Pak Prabowo. Tarif 19 persen ini memang tidak ringan, tapi tetap lebih baik dan masih seimbang jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain. Yang penting, tarif ini dibayar oleh importir di Amerika, bukan oleh kita,” kata Toto saat dihubungi Kontan, Jumat (8/8).
Baca Juga: Tarif AS19% Dinilai Masih Berat, Waspadai Dampak Terhadap Industri Mebel Nasional
Kendati demikian, Toto mengingatkan bahwa daya saing produk Indonesia akan tetap tergerus jika biaya logistik domestik tidak segera ditekan. Menurutnya, inilah momentum bagi pemerintah untuk berbenah secara serius dalam reformasi ekosistem ekspor.
“Harapan kami, pemerintah segera menekan high cost logistics kita. Kalau tidak, harga kita tidak akan kompetitif. Negara seperti Vietnam dan Thailand punya biaya logistik lebih rendah, sehingga meskipun mereka juga dikenai tarif tinggi, harga produk mereka tetap lebih murah bagi buyer AS,” jelas Toto.
Dari sisi pasar, GPEI mencatat belum ada dampak langsung terhadap harga jual ekspor karena skema perdagangan mayoritas masih menggunakan FOB (Free On Board). Artinya, tarif tersebut ditanggung oleh pihak pembeli di AS, bukan eksportir Indonesia.
“Jadi margin kita tidak turun. Tapi yang kita lihat adalah penurunan permintaan. Buyer di AS melihat total cost, dan kalau harga kita tidak kompetitif, mereka cari alternatif lain. Ini yang bikin industri dalam negeri mulai kena imbas, termasuk pengurangan tenaga kerja di beberapa sektor,” lanjut Toto.
Untuk itu, GPEI mendorong pemerintah agar lebih aktif membuka pasar-pasar ekspor non-tradisional. Sejumlah upaya diversifikasi pasar telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir, termasuk ke kawasan Amerika Latin, Afrika, dan Asia Selatan.
“Kami harap perwakilan dagang di luar negeri, termasuk Atase Perdagangan dan ITPC, bisa lebih proaktif dalam menjembatani buyer baru untuk produk kita. Dunia usaha sangat menanti terobosan-terobosan yang konkret agar ekspor kita bisa bertahan,” pungkas Toto.
Baca Juga: Meski Pasar AS Masih Oke Seiring Tarif Impor Trump, DSFI Tetap Jajaki Pasar Baru
Selanjutnya: Kementerian ESDM: Perusahaan Rusia Mulai Lirik Peluang Investasi di Minerba
Menarik Dibaca: Promo Superindo Hari Ini 8-10 Agustus 2025, Aice Beli 1 Gratis 1 Tropical 1 Liter
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News