Reporter: Yusuf I Santoso | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH) ditargetkan rampung pada 17 Oktober 2016. Hal ini merujuk pada program pemerintah yang mewajibkan seluruh produk di Indonesia halal pada 2019. Tak terkecuali produk-produk industri farmasi. Tetapi banyak hal yang dipertanyakan dengan adanya RPP JPH ini. Peraturan tersebut dirasa tidak tepat dan membingungkan.
“Dalam salah satu pasal di RPP mencangkup keseluruhan barang yang digunakan masyarakat harus memiliki sertifikasi halal, sedangkan pada pasal lainyya menyatakan tidak melarang produksi barang haram,” Kata Parulian Simanjuntak Direktur Internatioanal Pharmaceutucal Manufacturer Group (IPMG) Asosiasi Farmasi, kepada KONTAN, Selasa (30/8).
Menurut Parulian, dalam industri farmasi hal tersebut akan sulit dimplementasikan, sebab 95% bahan baku dimpor, di mana belum tahu apakah bahan baku tersebut halal atau tidak. “Jangan membuat masyarakat bingung, kalau ini direalisasikan, masyarakat nanti akan tanya apakah obat yang dikonsumsinya halal atau tidak, kalau kelamaan berdebat keburu mati,” paparnya.
Asal tahu saja, Indonesia satu-satunya di dunia yang mengharuskan sertifikasi halal pada obat-obatan. Bahkan, negara Islam pun belum ada yang merencanakan atau menetapkan peraturan serupa. Sertifikasi halal nantinya akan ditangani Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH).
Sampai saat ini ada 22.000 obat-obatan izin edar di Indonesia. “Setiap tahun pemerintah hanya mampu memeriksa 1.000 per tahun, maka membutuhkan waktu 22 tahun, ini baru industri farmasi, belum yang lain,” tutur Parulian.
Parulian berharap agar pemerintah mengkaji lebih dalam dan mengeluarkan industri farmasi dari kewajiban disertifikasi karena sulit untuk diaplikasikan. Jika peraturan ini dijalankan industri farmasi harus berbenah dari hulu ke hilir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News