Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (ApsyFi) menilai, penutupan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama satu dekade terakhir.
Ketua Umum ApsyFi Redma Gita Wiraswasta menegaskan bahwa berhentinya operasional Sritex akan melemahkan ekosistem industri tekstil nasional, mengingat perusahaan ini memiliki peran strategis dari hulu hingga hilir.
"Sritex memiliki pengolahan bahan baku seperti rayon, yang sudah ambruk sejak 2023. Mereka juga ada di bagian midstream yang memproduksi benang dan kain. Ketika bagian tengah ini collapse, serapan bahan baku di industri hulu berkurang dan otomatis supply ke industri hilir pun terganggu," jelas Redma saat dihubungi Kontan, Minggu (2/3).
Baca Juga: Pengusaha Tekstil Optimis Industri TPT akan Tumbuh Positif di 2025
Impor Ilegal Jadi Biang Kerok Krisis Tekstil
ApsyFi menyoroti maraknya impor ilegal dan barang murah ilegal sebagai penyebab utama keterpurukan industri TPT, terutama setelah pandemi Covid-19.
Menurut Redma, pemerintah gagal melindungi pasar domestik, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi industri dalam negeri.
"Setelah Covid-19, kondisi industri sebenarnya membaik. Namun, ketika impor ilegal semakin masif dan ekspor sulit akibat ketegangan geopolitik, pasar domestik seharusnya bisa jadi penyelamat. Sayangnya, pemerintah tidak melakukan pembenahan dan malah membiarkan industri tekstil tumbang satu per satu, termasuk Sritex yang menjadi korban terbesar," ujarnya.
Dampak dari kondisi ini semakin terasa dengan meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik.
Baca Juga: Sampah Tekstil Setiap Orang 30 Kg Per Tahun, LG Tegaskan Pentingnya Daur Ulang
Sepanjang 2024 saja, sudah 60 perusahaan TPT gulung tikar, dengan PHK yang terjadi hampir setiap pekan.
Menurut ApsyFi, solusi untuk menyelamatkan industri TPT sangat sederhana: pemerintah harus serius memberantas impor ilegal dan menindak tegas oknum yang terlibat dalam penyelundupan.
"Pemerintah tidak perlu memberikan insentif finansial, tidak perlu subsidi energi seperti HGBT. Yang perlu dilakukan adalah menegakkan aturan perdagangan yang adil dan tidak mengistimewakan barang impor. Tangkap oknum di logistik, aparat, dan birokrasi yang berkolaborasi dengan importir ilegal. Ini ada di mana-mana, termasuk di kementerian," tegas Redma.
Selanjutnya: Tarif Trump Segera Berlaku, Simak Proyeksi Rupiah pada Perdagangan Senin (3/3)
Menarik Dibaca: Jadwal Buka Puasa 2 Maret 2025 untuk Wilayah Jogja dan Sekitarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News