Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kontribusi Bank BUMN dalam mendanai proyek transisi energi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diharapkan perbankan pelat merah bisa menjadi motor penggerak proyek-proyek hijau yang akan dikembangkan dalam waktu dekat.
Sebelumnya dalam ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting and Related Meetings, Selasa (22/8/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$200 miliar untuk pembangunan berkelanjutan dalam 10 tahun ke depan.
Baca Juga: Rasio Kredit UMKM Baru 12%, Jokowi Dorong Pembiayaan Sektor Ini Dipermudah
Melihat kebutuhan yang besar itu, keuangan berkelanjutan sangat penting dalam mengakselarasi proyek-proyek ramah lingkungan demi mencapai target net zero emission (NZE) di 2060.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, saat ini peran bank dalam mendanai proyek energi hijau di Indonesia sudah jauh lebih baik dengan adanya taksonomi hijau.
Taksonomi hijau adalah sistem klasifikasi yang menetapkan daftar kegiatan ekonomi ramah lingkungan dan menjadi pedoman sektor perbankan dalam menambah portofolio hijaunya.
“Potensi pendanaan lewat perbankan masih sangat besar, ditambah bank juga diwajibkan mencari dan menambah portofolio hijau. Hanya saja masih ada tantangan yakni mencari proyek yang bankable,” jelasnya kepada Kontan.co.id Jumat (8/12).
Baca Juga: Dirut PLN Singgung Tantangan Pendanaan Pensiun Dini PLTU
Fabby menyatakan, akan sangat baik jika pemerintah bisa mendorong Bank BUMN sebagai motor penggerak pendanaan proyek hijau. Dia melihat skala bank pelat merah seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, hingga Bank Negara Indonesia (BNI) sangat besar untuk memberikan pinjaman bagi proyek berkelanjutan.
“Jika bank BUMN dapat digerakkan, risiko kredit proyek hijau menjadi lebih baik, ini juga menjadi katalis bagi bank non BUMN dan yang bank lebih kecil untuk masuk ke proyek ramah lingkungan,” terangnya.
Apa yang dikatakan Fabby bukan isapan jempol, di sepanjang tahun ini tren pendanaan bank nasional semakin besar jika dibandingkan tahun lalu.
Direktur Utama BRI Sunarso menyampaikan, hingga akhir September 2023, BRI telah menyalurkan kredit ke Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan/KKUB sebesar Rp 750,9 triliun, atau sekitar 66,1% dari total penyaluran kredit BRI. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 11,9% secara tahunan.
“Dari nominal tersebut, sebesar Rp 669,1 triliun disalurkan ke sektor UMKM, dan Rp 81,8 triliun disalurkan ke sektor Kredit Usaha Berwawasan Lingkungan/KUBL atau biasa disebut green loans,” ujarnya dalam Public Expose Live 2023, Kamis (30/11).
Baca Juga: Pemerintah dan ADB Sepakati Komitmen Percepatan Pensiun Dini PLTU di Indonesia
Realisasi kredit KKUB ini naik pesat jika dibandingkan dengan penyaluran di akhir Juni 2023 di mana pada saat itu tercatat senilai Rp 79,4 triliun. Dari nilai tersebut, sebanyak Rp 5,7 triliun disalurkan kepada proyek renewable energy serta Rp 12 triliun untuk green transportation.
Dia mengemukakan praktik ESG yang telah dilakukan BRI pun memberikan dampak nyata terhadap masyarakat Indonesia.
Sebelumnya di 2022, Bank BRI telah merealisasikan penyaluran kredit proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar Rp 7,1 triliun, angka ini meningkat sebesar Rp 1,5 triliun atau 27,1% YoY dari 2021.
Tidak hanya itu, BRI telah menerbitkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I atau Green Bond dengan target penghimpunan dana sebesar Rp 15 triliun dan jumlah emisi tahap I di tahun 2022 sebesar Rp 5 triliun.
Adapun penggunaan dana tersebut telah dialokasikan sebesar 80% kepada sektor - sektor Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan sesuai dengan POJK 60/2017.
Baca Juga: Bank Mandiri akan Konsisten Dorong Pembiayaan Keberlanjutan dan Pembiayaan Hijau
Contoh lainnya, Bank Mandiri mencatatkan kenaikan pembiayaan ke sektor energi terbarukan setiap tahunnya. Kredit untuk energi terbarukan pada 2020 hanya Rp 2,5 triliun, lalu naik menjadi Rp 6,15 triliun di akhir 2022 lalu.
Adapun beberapa proyek energi terbarukan yang mendapatkan kucuran green financing dari Bank Mandiri adalah Kerinci Hydro Power Plant dengan total kapasitas 2x45MW MW dan Malea Hydro Power Plant di Sulawesi Selatan.
Bank Mandiri juga menyalurkan pembiayaan untuk proyek Poso Hydro Power Plant dengan total kapasitas 515 MW.
Sampai dengan semester I 2023, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit hijau naik 10,2% year on year (YoY) menjadi Rp 115 triliun per Juni 2023.
Hingga paruh pertama 2023, penyaluran green financing bank pelat merah ini berkontribusi sebesar 11,7% dari total portofolio kredit.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar menyatakan dalam sustainable financing, sektor keuangan berperan memobilisasi sumber daya dan modal untuk mengatasi perubahan iklim dan mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Baca Juga: Perbankan Lokal Masih Kesulitan Mengurangi Porsi Kredit ke Sektor Batubara
“Sebagai salah satu First Movers on Sustainable Banking, Bank Mandiri terus menggenjot penyaluran green financing di tanah air,” imbuhnya.
Pengusaha Energi Baru Terbarukan (EBT) Semakin Yakin
Semakin maraknya minat perbankan nasional ke proyek hijau membuat pelaku usaha semakin optimistis memandang prospek EBT di dalam negeri.
Fabby melihat, di tahun depan ada beberapa proyek pembangkit energi terbarukan yang makin diminati perbankan, yakni pembangkit hidro seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTmh). Kemudian, Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) terkhusus off-grid.
“Tidak hanya itu, pengadaan pasokan biomassa untuk co-firing juga menjadi proyek yang diincar oleh perbankan karena membutuhkan modal kerja dan dapat diklasifikasikan sebagai proyek hijau karena menyediakan bahan baku untuk pembangkit,” jelasnya.
Baca Juga: PLTU Cirebon Siap Pensiun Dini di 2035
Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Zulfan Zahar mengemukakan, perbankan pelat merah dan lembaga keuangan non-bank dalam negeri semakin agresif membiayai proyek energi baru terbarukan.
“Upaya ini mulai dilakukan baik sendiri maupun sindikasi,” ujarnya.
Ke depannya, lanjut Zulfan pengusaha berharap lembaga keuangan dalam negeri bisa lebih masif lagi mengucurkan dana untuk proyek hijau. Sehingga diperlukan beberapa insentif dari pemerintah juga perbaikan perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN terutama terkait tariff.
Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Milton Pakpahan menyatakan, transisi energi dimulai dengan memaksimalkan dekarbonisasi di antaranya melalui co-firing biomassa pada pembangkit batubara PLN yang sudah dimulai sejak 2021.
Kelak dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) mengenai co-fiirng yang saat ini masih dalam tahap harmonisasi, maka target pasokan biomassa ke pembangkit mencapai 10,2 juta ton pertahun mulai 2025.
Baca Juga: Begini Gambaran Transaksi PLTU Cirebon 1 yang Akan Selesai pada Semester I 2024
“Kami optimistis target ini bisa dicapai dan harus ada dukungan dari perbankan nasional,” ujarnya.
Peluang lain yang harus didukung perbankan ialah target 25% heat energy di sektor industri dari energi terbarukan biomassa, kemudian pembangunan pembangkit tenaga biomassa (PLTBm) baru, dan ekspor biomassa.
“Untuk itu, MEBI sudah merencanakan melakukan spesialisasi atau diskusi dengan pendanaan domestik,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News