Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Data produksi minyak bumi nasional sepanjang semester I-2025 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan perbedaan angka.
Pada Senin (11/8), Kementerian ESDM melaporkan rata-rata produksi minyak bumi nasional pada semester I-2025 mencapai 602.400 barel per hari (bph), atau 99,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar 605.000 bph. Pada Juni 2025, produksi bahkan menembus 608.100 bph atau 100,5% dari target.
"Target kita di minyak, APBN kita itu pada tahun 2025 targetnya ada 650 ribu barel per hari. Data dari Ditjen Migas, sejak 2008 sampai dengan 2024, target realisasi lifting kita tidak pernah mencapai yang sama dengan target APBN. Selalu di bawah target APBN," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers di Kementerian ESDM, Senin (11/8/2025).
Bahlil menyebut, tren produksi terus meningkat dari 599,6 ribu bph pada Januari menjadi 608,1 ribu bph pada Juni. Menurutnya, keberhasilan ini menjadi modal penting untuk menepis anggapan bahwa target lifting minyak 2025 sulit tercapai.
“Dan kami sudah berkomitmen. Kami juga sudah melaporkannya kepada Pak Presiden. Insya Allah, di dalam tahun 2025 ini target APBN bisa tercapai. Dan ini baru pertama ini, sejak 2008,” tegas Bahlil.
Baca Juga: Menteri ESDM Bahlil Sebut Lifting Minyak Capai 608 Ribu Barel per Hari
Namun, SKK Migas mencatat angka berbeda. Berdasarkan data SKK Migas yang dilaporkan pada 21 Juli 2025, produksi minyak hingga Juni 2025 sebesar 579.300 bph, dengan lifting minyak bumi 578.000 bph atau 95,5% dari target lifting 2025 sebesar 605.000 bph.
Dihubungi KONTAN, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro menegaskan, sebetulnya tidak ada perbedaan data antara Kementerian ESDM dan SKK Migas.
“Data di Kementerian ESDM berasal dari SKK Migas. Jika diperhatikan lebih jeli lagi pada materi presscon Kementerian ESDM di bagian bawah sudah ada catatan bahwa produksi minyak bumi termasuk NGL, sehingga yang masuk dalam data produksi minyak bumi pada konferensi pers Kementerian ESDM mencakup minyak, kondensat, dan NGL,” jelas Hudi kepada Kontan, Rabu (13/8/2025).
Hudi menjelaskan, saat konferensi pers kinerja tengah tahun hulu migas 2025 yang digelar SKK Migas pada Juli lalu, angka produksi minyak belum memasukkan NGL.
“Pada data yang dipublikasikan SKK Migas saat itu hanya minyak dan kondensat. Ke depannya tentu SKK Migas akan mencatatkan NGL sebagai bagian dari produksi minyak,” ujarnya.
Baca Juga: Produksi Minyak Bumi Nasional Capai 602.000 Barel hingga Juni 2025
Perbedaan definisi juga disorot Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo. Menurut Hadi, dalam nomenklatur teknis mekanika reservoir dan mekanika fluida, reservoir migas selalu berada dalam kondisi tiga fase, yaitu gas, minyak, dan air. Fluida tiga fase ini dialirkan, baik secara natural flow maupun artificial lift, ke sumur produksi melalui tubing, lalu sampai ke wellhead.
“Di wellhead biasanya dilengkapi metering, dan di sinilah fluida tiga fase itu dicatat laju alir gas, minyak, dan air. Selanjutnya fluida tiga fase ini masuk ke separator untuk dipisahkan minyaknya dari gas dan air. Minyak kemudian mengalir ke station pengumpul minyak (tank storage) yang juga dilengkapi metering. Dari station pengumpul ini, minyak di-lifting untuk dijual melalui pipa atau kapal tanker kepada Pertamina Kilang atau trader minyak lainnya,” jelas Hadi kepada Kontan, Rabu (13/8/2025).
Hadi merinci, produksi minyak adalah volume dari reservoir sampai di metering wellhead. Sementara lifting minyak adalah volume di station pengumpul yang dijual kepada pembeli.
“Namun dalam pencatatan yang disampaikan menteri itu, memasukkan sekitar 22.000 bopd ekuivalen NGL/LPG ke dalam pencatatan minyak dan kondensat. Seharusnya NGL/LPG masuk pencatatan rezim gas sesuai dalam nomenklatur UU APBN 2025,” paparnya.
Baca Juga: RAPBN 2026: ESDM Usulkan Lifting Minyak 610.000 Barel per Hari
Menurut Hadi, jika sistem dan fasilitas sederhana, produksi minyak kemungkinan besar akan sama dengan lifting minyak. Pasalnya, data yang asli dan otentik adalah data di SKK karena di-update setiap minggu dalam Shipcoord Meeting yang dihadiri seluruh KKKS produksi, sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
"Sebaiknya sebelum membuat laporan ke Presiden, semua data diverifikasi dulu di SKK di level working level yang pegang data setiap hari. Kalau mau membuat definisi atau aturan baru pencatatan, harus sinkron dengan regulasi atau UU terkait subject yang dimaksud. Supaya data yang disampaikan KESDM dan Kemenkeu bisa sinkron. Tidak membingungkan,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai, perbedaan data produksi minyak ini tergantung pada kewenangan dan jangkauan informasi masing-masing lembaga.
Baca Juga: ESDM Targetkan Lifting Minyak Capai 610.000 Barel per Hari di RAPBN 2026
“Mengapa data SKK Migas lebih rendah, karena SKK Migas memperhitungkan unplanned shutdown (penutupan mendadak) di lapangan migas dan penundaan proyek strategis. Selain itu, fluktuasi harga minyak dunia, masalah teknis di lapangan, dan kendala operasional juga dapat berkontribusi pada perbedaan data tersebut,” ujarnya.
Menurut Yayan, SKK Migas mengetahui lebih detail informasi terkini dari kinerja ladang minyak, termasuk unplanned shutdown akibat harga minyak terlalu rendah, kendala perizinan, atau keterlambatan komponen impor.
“Mis-informasi ini menyebabkan adanya gap antara kondisi riil di lapangan yang diketahui oleh SKK Migas dan Kemen ESDM yang mungkin belum terinfokan dengan data terkini,” tandasnya.
Baca Juga: Rata-rata Produksi Minyak Nasional Capai 602.400 Barel per Hari pada Semester I-2025
Selanjutnya: Perbankan Hati-Hati Hadapi Kredit Macet Korporasi
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Olahraga Lari untuk Kesehatan Mental, Sama Baiknya dengan Antidepresan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News