Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Jika digunakan sebagai trading arm, Fahmy mengkhawatirkan ujung-ujungnya, PIMD akan digunakan melakukan impor LPG, yang rawan menjadi sasaran Mafia Migas untuk berburu rente seperti yang terjadi pada Petral.
Apabila kekhawatiran itu terjadi, Fahmy berpendapat sepak terjang perburuan rente kali ini akan sangat sulit untuk dihentikan. Sebab, PIMD yang berkedudukan di Singapura berada di luar teritorial Indonesia, sehingga tidak terjangkau dan tersentuh oleh KPK.
"Tidak mengherankan kalau KPK baru menetapkan bos Petral sebagai tersangka suap pengadaan crude, setelah 4 tahun melakukan penyidikan dan penyelidikan," kata Fahmy.
Baca Juga: Kembangkan Green Refinery, Pertamina buka opsi gandeng pihak selain ENI
Lantaran terbukti bahwa Petral hanya digunakan oleh Mafia Migas dalam pemburuan rente yang merugikan negara, Petral akhirnya dibubarkan pada 2015 sesuai perintah Presiden Joko Widodo. Menurut Fahmy, tanpa adanya perintah Presiden, Petral akan sulit dibubarkan.
"Tidak berlebihan dikatakan bahwa pembukaan kembali trading arm PIMD di Singapora setelah Petral ditutup, Pertamina mengabaikan perintah Presiden Joko Widodo," tegas Fahmy.
Alhasil, Fahmy berpandangan, PIMD selayaknya dibubarkan. "Menurut saya sebaiknya dibubarkan saja," ungkapnya.
Jika berlanjut, sambung Fahmy, maka harus ada dua syarat yang harus dipenuhi PIMD. Syarat pertama, pimpinan dalam struktur PIMD harus dipastikan memiliki integritas tinggi. Kedua, tata kelola dalam ekspor dan impor harus benar-benar dibuat transparan.
"Tanpa kedua syarat itu, Mafia Migas akan dengan mudah menggunakan PIMD dalam pemburuan rente, baik melalui ekspor, maupun impor," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News