Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor tekstil nasional saat ini berada dalam fase pemulihan setelah menghadapi tekanan berat akibat pandemi dan disrupsi global lainnya.
Pemerintah dan pelaku usaha sendiri tengah berupaya untuk mengembalikan daya saing industri ini.
Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menerangkan, di tengah situasi pemulihan ini muncul tekanan regulasi oleh kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili industri, tetapi justru memperkeruh keadaan.
Ia menilai hal ini sebagai upaya sistematis dari kelompok tertentu untuk memaksakan kehendaknya melalui desakan terhadap kebijakan publik.
Baca Juga: Kemenperin Targetkan Restrukturisasi Mesin untuk 21 Industri Tekstil dan Alas Kaki
Salah satu kasus yang disoroti adalah desakan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) terkait pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen sintetik tertentu Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) dari China.
"Upaya ini sempat ditolak karena dikhawatirkan berdampak pada industri hilir, terutama industri tekstil dan garmen, yang berpotensi menimbulkan puluhan ribu pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujar dia, Senin (30/6/2025).
Fernando menambahkan, pemerintah bersikap objektif dan sigap dengan menolak usulan tersebut berdasarkan analisis dampak menyeluruh.
Lebih lanjut, Fernando menyoroti keterlibatan entitas seperti Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), yang mengklaim mewakili konsumen, tetapi secara aktif mendorong regulasi SNI wajib untuk seluruh produk tekstil.
Ia menjelaskan SNI wajib untuk pakaian jadi saat ini hanya diberlakukan pada kategori pakaian bayi, dan itu pun berdasarkan alasan keselamatan konsumen.
“Pakaian bayi yang tidak sesuai SNI bisa mengandung zat berbahaya seperti timbal, yang jika tergigit oleh bayi bisa membahayakan kesehatan. Maka, penerapan SNI wajib untuk segmen ini sangat wajar,” ucap dia.
Namun, ia menilai perlu kajian komprehensif sebelum memperluas kewajiban SNI ke seluruh produk pakaian jadi.
Baca Juga: Revisi Beleid Impor Berpotensi Selamatkan Industri Tekstil
Berdasarkan data Sakernas BPS, terdapat lebih dari 909.000 industri pakaian jadi mikro, serta sekitar 5.800 industri besar dan menengah, yang menyerap hampir 2,9 juta tenaga kerja.
“Kalau semua diwajibkan mengurus SNI hanya untuk bisa menjual produk, apakah negara siap menjamin tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap pelaku UMKM yang hanya memiliki 2–3 mesin jahit di rumahnya?” tanya Fernando.
Menurut dia, yang jauh lebih mendesak adalah pembenahan tata niaga impor pakaian jadi, yang saat ini tengah dibahas dan diharapkan segera diberlakukan.
“Pemerintah sedang bekerja secara objektif. Jangan sampai fokus penguatan industri nasional malah dibelokkan oleh tekanan dari kelompok-kelompok yang mengedepankan kepentingan sempit,” tutup dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dalam Masa Pemulihan, Pemerintah Diharapkan Lindungi Industri Tekstil", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2025/06/30/203133426/dalam-masa-pemulihan-pemerintah-diharapkan-lindungi-industri-tekstil.
Selanjutnya: Jaecoo Kantongi Pesanan Kendaraan 700 Unit
Menarik Dibaca: Ini Gift Code Ojol The Game 2 Juli 2025 Terupdate yang Anda Cari
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News