Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Yudho Winarto
Baca Juga: Tumpukan Utang Jumbo Menanti Garuda Indonesia (GIAA)
Mengacu laporan keuangan per 30 September 2019, Garuda memiliki total kewajiban jangka pendek dalam kurun setahun sebesar US$ 2,45 miliar. Jumlah itu naik 24,35% dibandingkan posisi 31 Desember 2018.
Pada saat bersamaan, aset keuangan GIAA yang terdiri dari kas dan setara kas maupun komponen lain malah menyusut 5,85% menjadi US$ 1,14 miliar.
Sebagian besar kewajiban yang akan jatuh tempo adalah pinjaman jangka pendek sebesar US$ 850,29 juta. Ada pula utang obligasi senilai US$ 528,19 juta.
Pinjaman itu antara lain berasal dari Bank BNI senilai US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun. Ini adalah fasilitas kredit untuk pembelian bahan bakar pesawat dari Pertamina yang jatuh tempo pada 19 April 2020. Pinjaman lainnya dari Bank Panin dengan saldo pinjaman US$ 125 juta dan jatuh tempo 24 Februari 2020.
Kemudian fasilitas pinjaman tanpa jaminan dari Bank Permata dengan saldo pinjaman US$ 51,6 juta. Fasilitas ini mengalami perpanjangan sementara selama tiga bulan hingga 1 April 2020. Dari Bank HSBC ada fasilitas kredit dengan saldo US$ 13,95 juta yang jatuh tempo 30 Juni 2020.
Baca Juga: Bagaimana nasib puluhan anak-cucu usaha Garuda di bawah komando Dirut baru?
Kemudian terhadap Maybank Indonesia ada saldo pinjaman US$ 12,28 juta yang jatuh tempo 8 Juni 2020. Juga kepada Bank BCA, terdapat fasilitas kredit dengan saldo pinjaman Rp 27 miliar atau US$ 1,90 juta yang jatuh tempo 17 Juni 2020.
Utang jatuh tempo paling besar berasal dari penerbitan Trust Certificates atau Garuda Indonesia Global Sukuk senilai US$ 500 juta. Obligasi itu terbit pada 3 Juni 2015 dan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Sebelumnya, manajemen Garuda yang lama, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 22 Januari 2020, membatalkan rencana menerbitkan instrumen surat utang senilai US$ 900 juta atau setara Rp 12,24 triliun.
Baca Juga: Walau masih konsolidasi, manajemen Garuda ingin fokus lakukan perbaikan