Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pekerjaan berat menanti pengurus baru maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk. Emiten berkode saham GIAA di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu memiliki tagihan pembayaran jumbo.
Salah satunya adalah utang obligasi yang jatuh tempo 3 Juni 2020. Garuda berkomitmen menyelesaikan utang dengan menyiapkan sejumlah langkah alternatif.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah dalam menyelesaikan soal utang tersebut, salah satunya melakukan negosiasi dalam mencari utang baru.
"Mengenai utang, telah menjadi concern kita, kita sudah bicarakan dengan tim. Ada beberapa alternatif yang akan di ambil, kita akan lakukan upaya untuk mencari utang baru," katanya di Jakarta pada Jumat (24/1).
Baca Juga: Ini fokus pembenahan jajaran direksi Garuda Indonesia (GIAA) yang baru
Garuda tetap berupaya untuk mengurangi utang untuk menguatkan laba perusahaan dengan cara negosiasi terhadap lessor (pemberi pembiayaan pesawat Garuda) dan manufacturing (pabrikan pesawat) karena struktur biaya besar di avtur dan biaya leasing (pesawat).
"Kita selalu mengupayakan pengurangan utang tersebut dengan cara membuat perusahaan ini profitable karena kalau perusahaan ini tidak profit jadi utang akan meningkat," ujarnya.
Irfan juga menegaskan, beban utang tersebut dipastikan tidak akan membuat perusahaan mengorbankan keselamatan dalam penerbangan.
"Saya beri jaminan itu nggak impact ke safety. Di segi finansial kita lihat kondisi finansial di pasar, lessor di atas angin. Dengan tim yang ada kita sepakat bangun tim kuat kalau perlu hire konsultan dan negosiator di luar untuk pastikan kita dapat pricing structure lebih bagus untuk tekan biaya. Kalau leasing bisa ditekan akan turunkan biaya. Jadi bisa berutang lagi untuk datangkan armada baru," jelasnya.
"Kalau tanya Garuda berutang, ya tipikal airlines berutang karena kalau beli pesawat cash kan bisa dipakai buat yang lain."
Baca Juga: Tumpukan Utang Jumbo Menanti Garuda Indonesia (GIAA)
Mengacu laporan keuangan per 30 September 2019, Garuda memiliki total kewajiban jangka pendek dalam kurun setahun sebesar US$ 2,45 miliar. Jumlah itu naik 24,35% dibandingkan posisi 31 Desember 2018.
Pada saat bersamaan, aset keuangan GIAA yang terdiri dari kas dan setara kas maupun komponen lain malah menyusut 5,85% menjadi US$ 1,14 miliar.
Sebagian besar kewajiban yang akan jatuh tempo adalah pinjaman jangka pendek sebesar US$ 850,29 juta. Ada pula utang obligasi senilai US$ 528,19 juta.
Pinjaman itu antara lain berasal dari Bank BNI senilai US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun. Ini adalah fasilitas kredit untuk pembelian bahan bakar pesawat dari Pertamina yang jatuh tempo pada 19 April 2020. Pinjaman lainnya dari Bank Panin dengan saldo pinjaman US$ 125 juta dan jatuh tempo 24 Februari 2020.
Kemudian fasilitas pinjaman tanpa jaminan dari Bank Permata dengan saldo pinjaman US$ 51,6 juta. Fasilitas ini mengalami perpanjangan sementara selama tiga bulan hingga 1 April 2020. Dari Bank HSBC ada fasilitas kredit dengan saldo US$ 13,95 juta yang jatuh tempo 30 Juni 2020.
Baca Juga: Bagaimana nasib puluhan anak-cucu usaha Garuda di bawah komando Dirut baru?
Kemudian terhadap Maybank Indonesia ada saldo pinjaman US$ 12,28 juta yang jatuh tempo 8 Juni 2020. Juga kepada Bank BCA, terdapat fasilitas kredit dengan saldo pinjaman Rp 27 miliar atau US$ 1,90 juta yang jatuh tempo 17 Juni 2020.
Utang jatuh tempo paling besar berasal dari penerbitan Trust Certificates atau Garuda Indonesia Global Sukuk senilai US$ 500 juta. Obligasi itu terbit pada 3 Juni 2015 dan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Sebelumnya, manajemen Garuda yang lama, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 22 Januari 2020, membatalkan rencana menerbitkan instrumen surat utang senilai US$ 900 juta atau setara Rp 12,24 triliun.
Baca Juga: Walau masih konsolidasi, manajemen Garuda ingin fokus lakukan perbaikan
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, yang disampaikan manajemen Garuda, pembatalan tersebut mempertimbangkan belum tersedianya laporan keuangan penelahaan terbatas atau limited review sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia Tbk Fuad Rizal juga mengakui adanya kewajiban yang harus dibayar dalam jangka pendek.
Fuad yang menduduki jabatan penting di Garuda sejak 2015 menambahkan, manajemen sudah menyiapkan cara untuk membayar tagihan tersebut.
Hanya saja, salah satu cara yang penting harus diulang prosesnya. "Saat rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) kemarin (Rabu (22/1), salah satu agenda yang disiapkan adalah (pencarian) pendanaan US$ 900 juta," ungkap Fuad, Kamis (23/1).
Baca Juga: Erick Thohir pilih Yenny Wahid dan Triawan Munaf jadi komisaris Garuda, ini alasannya
Namun agenda tersebut batal karena persiapan dan tahapan untuk menghimpun pendanaan belum tuntas. "Jadi salah satu syarat untuk mengajukan material concession di RUPSLB adalah harus ada laporan keuangan audit yang klarifikasinya kurang dari enam bulan. Karena laporan itu belum selesai, maka didrop," terang Fuad.
Yang jelas, jika ingin kembali menerbitkan surat utang baru, manajemen Garuda harus bertindak cepat. Pasalnya, sukuk global GIAA akan jatuh tempo kurang dari lima bulan.
Padahal untuk penerbitan surat utang lagi, tetap harus melalui RUPS/RUPSLB. "Pendanaan di atas US$ 50 juta harus menunggu persetujuan komisaris," papar Fuad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News