Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan global terhadap industri kelapa sawit semakin kencang, kendati banyak perusahaan sawit di Indonesia telah mengantongi sertifikat dari The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kini peran RSPO dipertanyakan karena tidak membawa dampak positif bagi para anggotanya.
Pengamat Perkelapasawitan Maruli Gultom mengatakan, industri sawit saat ini menuntut janji penyerapan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global.
Baca Juga: Sawit Sumbermas optimistis bisnis sawit terdongkrak di 2020
Pasalnya, setiap tahun, penjualan CSPO di bawah 50% yang berdampak pada oversuplai CSPO dan tidak adanya premium price bagi konsumen. Walaupun, produsen sudah mampu memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa.
“RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani. Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya,” kata Maruli dalam diskusi bertema “Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global” di Kementan, Selasa (26/11).
Diskusi yang diadakan oleh Majalah Sawit Indonesia juga turut menghadirkan pembicara Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih.
Maruli melanjutkan, sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan business to business. Buktinya, anggota RSPO harus membayar iuran setiap tahun. Mahalnya biaya sertifikasi dan surveillance menjadi bukti RSPO lebih banyak bersifat bisnis.
Baca Juga: Ekspor sawit Indonesia terganggu kampanye negatif Greenpeace
“Produsen mau saja bayar untuk dipermalukan oleh NGO dalam forum tahunan. Kalaupun ingin menerapkan prinsip sustainable tidak perlu menjadi anggota RSPO,” ujarnya.
Sementara itu, Bungaran menambahkan, konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten. Penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainablity baru sekitar 60% dari produksi CPO bersertifikat sustainability.
Menurutnya Menteri Pertanian Periode 2000-2004, konsep sustainability yang berlaku dan diadopsi sekarangini baik ISPO maupun RSPO merupakan konsep absolute sustainability dengan dua kategori yakni sustainable or unsustainable.
Baca Juga: Sawit Sumbermas targetkan sertifikasi RSPO dan ISPO sepenuhnya tahun 2020
Pendekatan sustainability bersifat mutlak dinilai kurang tepat. Padahal, sustainability ini merupakan konsep relatif yakni lebih sustainable (more sustainable) dari sebelumnya atau dibandingkan yang lain.
Adapun perwakilan petani yang hadir dalam diskusi mengakui terjadi ketidakadilan bagi petani peserta RSPO. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, menyebutkan anggotanya dikejar-kejar mengikuti sertifikasi RSPO. Setelah dapat, harga yang diterimanya tetap sama.
“Mereka (petani) dijanjikan harga bagus. Tapi tidak ada. Permintaan minyak sawit bersertifikat lebih rendah dari produksi. Pembeli yang ingin minyak sawit bersertifikat jumlahnya juga sedikit. Artinya, tuntutan sertifikat bagian politik dagang negara pembeli seperti Eropa. Kita dituduh merusak hutan dan lingkungan. Padahal, yang menuduh belum tentu pahan dan mengerti sawit,” tegasnya.
Baca Juga: CPOC dorong standardisasi sertifikasi seluruh minyak nabati
Para pembicara sepakat bahwa Indonesia harus berdaulat di kancah perdagangan sawit global. Bungaran mengakui program B30 dapat meningkatkan permintaan minyak sawit domestik dan sebaiknya dapat berjalan konsisten. Saat ini, pasar CPO terbesar berada di India dan Tiongkok. Termasuk juga kebutuhan pasar domestik setelah B30 berjalan.
“Tapi, kita harus paham bahwa Indonesia punya peluang mengisi kebutuhan pasar minyak sawit dunia. Kita harus melihat peluang itu, jangan diabaikan. Itu sebabnya, produktivitas dan kualitas harus diperhatikan bersama,” pungkas Bungaran.
Baca Juga: Indonesia harus tegas mengenai posisi sawit dalam perjanjian dagang internasional
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News