kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Dobel Tekanan untuk Industri Batubara RI: Smelter Nikel Melambat, Ekspor Merosot


Rabu, 30 Juli 2025 / 09:23 WIB
Dobel Tekanan untuk Industri Batubara RI: Smelter Nikel Melambat, Ekspor Merosot
ILUSTRASI. Produsen batubara Indonesia tengah menghadapi tekanan ganda: penurunan tajam ekspor dan permintaan domestik dari sektor smelter nikel yang mulai mencapai puncaknya. REUTERS/Dane Rhys


Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - SINGAPURA/JAKARTA. Produsen batubara Indonesia tengah menghadapi tekanan ganda: penurunan tajam ekspor dan permintaan domestik dari sektor smelter nikel yang mulai mencapai puncaknya.

Kombinasi ini menciptakan tantangan pertumbuhan besar bagi perusahaan-perusahaan tambang.

Batubara merupakan penyumbang devisa ekspor terbesar Indonesia, dengan nilai mencapai US$30,49 miliar pada 2024.

Baca Juga: Empat Smelter Nikel Investasi China Hentikan Produksi, Ini Dampaknya

Penurunan tajam dari sektor ini dapat berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada komoditas.

Dengan margin keuntungan yang menyempit dan harga saham yang menurun, prospek industri batubara mengarah pada pemangkasan tenaga kerja, penurunan produksi, dan berkurangnya kontribusi terhadap penerimaan negara, pada saat Presiden Prabowo Subianto mulai menggulirkan program belanja negara yang ambisius.

Permintaan domestik batubara selama ini didorong oleh smelter, khususnya di industri nikel, yang sangat membutuhkan listrik.

Namun, permintaan dari sektor ini diperkirakan akan mencapai puncaknya di 84,2 juta ton pada 2026 dan turun menjadi 78,6 juta ton pada 2027, menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), seiring kelebihan kapasitas dan kemungkinan regulasi emisi yang lebih ketat.

Di sisi lain, ekspor batubara Indonesia hingga Juni 2025 tercatat turun 12,6% secara volume dibandingkan tahun lalu menurut data Kpler. Sementara itu, data pemerintah menunjukkan nilai ekspor hingga Mei anjlok 19,1%.

Baca Juga: Begini Rencana Bernardus Irmanto Sebagai Bos Baru Vale Indonesia (INCO)

Ekspor ke China, pembeli terbesar batubara Indonesia, juga turun 30% pada Juni dibanding tahun lalu, karena Negeri Tirai Bambu mengandalkan produksi dalam negeri dan lebih memilih mengimpor batubara berkualitas lebih tinggi dari negara lain dengan harga lebih murah.

"Para produsen batubara Indonesia kini mulai mendiversifikasi bisnisnya untuk mengantisipasi penurunan permintaan batubara kalori rendah hingga menengah," ujar Manish Gupta, analis senior riset batubara termal Asia di Wood Mackenzie.

"Kami tidak memperkirakan pertumbuhan tambahan PLTU captive dari smelter nikel akan berlanjut seperti sebelumnya," katanya.

PLTU captive adalah pembangkit listrik khusus yang melayani kawasan industri, khususnya smelter nikel.

Industri smelter nikel Indonesia sebelumnya mendorong lonjakan tiga kali lipat kapasitas PLTU captive menjadi 16,6 gigawatt (GW) pada 2024, dari 5,5 GW pada 2019, menurut pelacak pembangkit dari Global Energy Monitor.

Namun harga nikel yang terus melemah akibat kelebihan kapasitas dan turunnya permintaan baja nirkarat dari China menyebabkan beberapa smelter di Indonesia berhenti beroperasi.

Baca Juga: Semester I-2025, Realisasi Batubara Untuk DMO Capai 104,59 Juta Ton

Pada Juni 2025, tingkat penghentian produksi smelter nikel pig iron di Indonesia naik 9% dibandingkan tahun sebelumnya, tertinggi dalam dua tahun terakhir dengan indikasi bahwa Tsingshan Holdings, produsen nikel terbesar Indonesia, menghentikan operasi di pabrik joint venture di Kawasan Industri Morowali, menurut data dari Earth-i.

Wakil Ketua APBI H. Kristiono yang anggotanya termasuk Adaro, Bayan, Bukit Asam, Adani Global, dan Trafigura mengatakan, kapasitas PLTU untuk smelter tetap akan tumbuh meski dengan laju yang lebih lambat, dan bahkan diperkirakan akan tetap meningkat dua kali lipat hingga akhir dekade ini.

Batubara tetap menjadi sumber energi utama bagi sektor nikel karena sulitnya beralih ke energi lain, minimnya koneksi ke jaringan listrik nasional, dan resistensi Indonesia terhadap aturan emisi yang lebih ketat.

Sekitar 6 GW atau 46% dari total kapasitas PLTU yang sedang dibangun di Indonesia saat ini berlokasi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, dua provinsi utama lokasi smelter nikel,  menurut Global Coal Monitor.

Baca Juga: China Kembangkan 450 Lokasi Tambang Batubara, Bakal Lampaui Produksi Australia dan RI

Tekanan untuk Perusahaan

Namun, kombinasi ekspor yang lebih rendah dan melambatnya permintaan dari PLTU captive menekan para produsen batubara.

Di saat yang sama, mereka juga menghadapi kenaikan biaya pemerintah dan harga bahan bakar.

Margin keuntungan Bayan, salah satu penambang terbesar, telah menurun selama tiga tahun berturut-turut.

Sementara margin kuartal pertama Bukit Asam turun ke bawah rata-rata tahunan sejak 2010, menurut data LSEG. Hal ini disebabkan oleh naiknya pembayaran royalti dan biaya operasional.

Baca Juga: Permintaan Global Melemah, Ekspor Batubara Indonesia Tertekan hingga 2026

Saham lima produsen batubara terbesar Indonesia berdasarkan volume produksi turun antara 1% hingga 18% sepanjang tahun ini, jauh tertinggal dari indeks pasar saham yang tumbuh hampir 7%.

Saham Adaro turun 18%, sementara Golden Energy Mines dan Bukit Asam masing-masing kehilangan lebih dari 10% nilai sejak awal tahun.

Perusahaan-perusahaan tersebut tidak merespons permintaan komentar dari Reuters.

Pada April lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan tarif royalti baru untuk batubara, nikel, dan mineral lain guna mendukung rencana belanja besar Presiden Prabowo.

Beberapa perusahaan besar menikmati penurunan tarif efektif, namun lainnya harus menghadapi kenaikan hingga 1 poin persentase.

Pada 2024, royalti menyumbang 16% dari struktur biaya rata-rata produsen batubara, tertinggi di antara semua komoditas utama Indonesia, menurut lembaga riset Energy Shift Institute yang berbasis di Australia.

Jakarta juga mempertimbangkan pungutan ekspor batubara pada level harga tertentu untuk menambah penerimaan negara, meski saat ini para produsen sudah terbebani oleh kenaikan biaya bahan bakar akibat pencabutan subsidi biodiesel.

Baca Juga: Kementerian ESDM Sebut Cadangan Batubara Indonesia Tembus 31,9 Miliar Ton

Beberapa perusahaan mencoba bertahan dengan diversifikasi, namun analis menilai prosesnya masih berjalan lambat.

Bukit Asam misalnya, pada Mei mengumumkan rencana investasi US$3,1 miliar untuk membangun pabrik pengolahan batubara menjadi gas alam sintetis.

"Produsen kini mempertimbangkan opsi hilirisasi, peluang energi terbarukan, atau investasi pada komoditas alternatif," tutup Gupta dari Wood Mackenzie.

Selanjutnya: Cermati Rekomendasi Teknikal Mirae Sekuritas Saham ADMR, BBTN dan BTPS, Rabu (30/7)

Menarik Dibaca: Masih Bertenaga, IHSG Naik 0,5% Pada Rabu Pagi (30/7)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×