Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dinilai sebagai dokumen perencanaan paling hijau yang pernah dimiliki Indonesia. Namun, percepatan realisasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Rusli Habibie meminta pemerintah terutama Kementerian ESDM dan PLN untuk meningkatkan langkah nyata dalam menjalankan agenda transisi energi nasional.
Baca Juga: Perkuat Praktik Zero Waste Mining, Narita Nickel Ubah Limbah Nikel Jadi Media Tanam
Rusli menegaskan arah kebijakan sudah sangat jelas melalui RUPTL terbaru, tetapi kecepatan implementasi masih jauh dari memadai.
“RUPTL 2025–2034 sudah memberikan arah yang tegas. Yang harus diperkuat sekarang adalah eksekusinya. Itu yang masih sangat lambat,” kata Rusli di Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Dominasi PLTU Masih 66%
Ia mengingatkan bahwa sekitar 66% suplai listrik nasional saat ini masih mengandalkan PLTU batubara sebagai baseload.
Ketergantungan tinggi terhadap energi fosil ini menjadi hambatan dalam memenuhi tuntutan global dan komitmen Indonesia untuk mempercepat penggunaan energi bersih.
Baca Juga: Naik 84%, PTPN V Cetak Laba Bersih Rp 3,48 Triliun Hingga Kuartal III-2025
Padahal, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang besar.
Menurut Rusli, sebagian besar potensi tersebut dapat menjadi alternatif baseload di masa depan jika dikelola dengan tepat.
Panas Bumi Jadi Kandidat Kuat Pengganti Batubara
Rusli menyoroti potensi panas bumi dan energi angin di Provinsi Gorontalo yang belum dimanfaatkan optimal.
Ia menyebut panas bumi sebagai salah satu kandidat kuat pengganti batu bara karena mampu beroperasi stabil selama 24 jam.
Baca Juga: PTPN IV Catatkan Produksi CPO 2,20 Juta Ton hingga Oktober 2025, Ini Pendorongnya
Namun, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar ada pada harga keekonomian.
“Panas bumi bisa menjadi tulang punggung pembangkit baseload yang bersih. Tapi kita harus menemukan formula keekonomian yang tepat supaya proyeknya feasible dan tidak membebani masyarakat,” ujarnya.
Percepatan Pemetaan dan Perizinan
Menurutnya, potensi EBT tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Jawa, Kalimantan hingga Sumatera.
Seluruh potensi ini harus diintegrasikan dan dipercepat untuk mengejar target bauran energi dalam RUPTL, terutama untuk periode 2029–2034.
Baca Juga: Produksi Sawit Asia Tenggara diprediksi turun pada 2025–2026
Rusli meminta Kementerian ESDM dan PLN melakukan pemetaan ulang proyek-proyek EBT secara lebih progresif, mempercepat perizinan, penyusunan studi kelayakan, hingga percepatan konstruksi.
“Kalau kita ingin transisi energi berjalan cepat, eksekusinya harus lebih agresif. Jangan biarkan potensi besar di daerah hanya menjadi angka dalam dokumen perencanaan,” tegasnya.
Ia berharap percepatan eksekusi tersebut tidak hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga membuka peluang investasi dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat di daerah yang memiliki potensi energi bersih.
Selanjutnya: Ramai Soal Pajak Pesangon dan Pensiun, Begini Penjelasan Pakar
Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Keuangan dan Karier Besok Sabtu 15 November 2025: Waktunya Adaptasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













