Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso. Menurutnya, UU Minerba baru ini tidak meniupkan angin segar untuk tata kelola pertambangan di Indonesia, kecuali bagi para pemegang KK dan PKP2B perpanjangan.
Budi pun menyoroti adanya jaminan perpanjangan izin dan juga soal luas wilayah. Ia mempersoalkan penggantian klausula "dapat diperpanjang" dalam UU No.4/2009 yang diubah menjadi "dijamin". "Kami dengan beberapa kolega akan melakukan judicial review, dan sedang menyiapkan materi dan dokumen pendukungnya. Banyak cacat prosedur yang dilakukan dan tidak hanya cacat substansi," kata Budi.
Penolakan juga datang dari koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia. Manager Advokasi dan Program Pengembangan Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menyoroti sidang-sidang dalam Komisi VII DPR yang dinilai tertutup, termasuk dalam proses pembahasan revisi UU Minerba yang minim pelibatan publik.
Baca Juga: Tok! DPR sahkan revisi UU Minerba
Secara substansi, Aryanto antara lain menyoroti terkait dengan luasan wilayah pertambangan dan jaminan perpanjangan izin operasi pertambangan. Juga sentralisasi kewenangan perizinan yang diambil pemerintah pusat.
Sementara itu, Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa penyusunan dan pengesahan revisi UU Minerba merupakan proses legislasi terburuk dalam lima tahun terakhir. Ia pun menyerukan partisipasi elemen masyarakat dalam advokasi untuk menggugat revisi UU Minerba baik secara proses hukum maupun politik.
"Judicial review harus lebih bermakna, dengan melakukan konsolidasi rakyat. Kita harus menjadi antitesis dari DPR yang tidak partisipatif. Ini proses terburuk dalam pembuatan legislasi," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News