Reporter: Diemas Kresna Duta, Tendi Mahadi, Cindy Silviana Sukma, Muhammad Yazid | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mulai Senin ini (27/5), industri di kawasan Jabodetabek hingga Karawang harus siap-siap menghadapi penurunan pasokan gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Perusahaan plat merah itu sedang memperbaiki pipa gas South Sumatera West Java (SSWJ) yang bocor beberapa hari lalu di jalur Labuhan Maringgai sampai Muara Bekasi.
Menurut Heri Yusup, Sekretaris Korporat PGN, kebocoran tersebut membuat pasokan gas di jalur SSWJ yang biasanya bisa mencapai 560 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd), turun ke kisaran 60 mmscfd-500 mmscfd.
Pelanggan gas PGN jelas meradang. "Kami meminta PGN menyelesaikan kebocoran secepatnya hingga pasokan gas ke konsumen tidak berkurang," tandas Achmad Widjaja, Koordinator Gas Industri kamar Dagang da Industri (Kadin) Indonesia, kemarin.
Achmad jelas kecewa dengan layanan PGN. Pasalnya, kebutuhan gas bagi industri di Jawa Barat, tahun ini bisa mencapai 1.704 mmscfd. Tapi karena pasokan gas yang minim, pelaku industri di wilayah ini mengalami defisit pasokan sebanyak 678 mmscfd.
Menurut Achmad, tuntutan pebisnis ini lumrah. Apalagi kalangan industri sudah menerima opsi kenaikan harga gas industridari PGN untuk kali kedua yang mulai berlaku April kemarin.
Meski Achmad mengaku belum menerima laporan resmi dampak dari efek kebocoran gas ini, yang jelas, kalangan industri bakal dirugikan. Mau tak mau, industri akan memakai sumber energi di luar gas, seperti bahan bakar minyak (BBM) yang harganya lebih mahal.
Opsi ini yang bakal dipakai PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG). Produsen produk kaca lembaran ini memastikan akan mengganti gas yang seret dengan BBM, solar.
Menurut Rusli Pranadi, Direktur Asahimas Flat Glass, bila kebocoran gas PGN berlangsung lebih dua hari, Asahimas akan memakai sumber energi pengganti gas, yakni solar. Sayang, Rusli mengaku belum bisa menilai jumlah kerugian yang diderita Asahimas akibat pasokan gas yang seret. "Saya belum mendapat info, harus menanyakan dulu ke bagian produksi," katanya.
Yang jelas, klaim, Rusli, memakai sumber energi non gas bakal menguras dana perusahaan. Sayang, ia mengaku tidak hafal besarnya biaya energi non gas ini,
Saat ini, kebutuhan gas di pabrik Asahimas di Jakarta mencapai 6 juta kaki kubik per bulan. Bila pasokan gas mengalir tersendat, Rusli mengaku kesulitan untuk memindahkan proses produksi dari pabrik Asahimas yang ada di Jakarta ke Sidoarjo yang pasokan gasnya lebih terjamin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News