Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA, Kalangan industri sawit meminta Spent Bleaching Earth (SBE) tidak dikategorikan limbah B3. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mempertanyakan alasan SBE dikategorikan Limbah B3 melalui PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pasalnya, bahan dasar SBE berasal dari bleaching earth berupa material Non-B3 dan minyak sawit, seperti juga umumnya dipakai vegetable oil (minyak nabati) lain yang dimurnikan.
Hal lain yang menjadi keprihatinan adalah industri pemurnian minyak sawit di seluruh dunia pengolahan minyak nabati menjadikan material SBE tidak masuk kategori limbah B-3. SBE bukan limbah melainkan produk samping yang mempunyai nilai karena SBE dapat diolah untuk menghasilkan produk lain bernilai tinggi.
“Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menetapkan SBE menjadi limbah B3, jelas menambah beban pelaku usaha industri pemurnian minyak sawit di Indonesia ,"ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dalam keterangan tertulis, Senin (20/7).
Baca Juga: Pengusaha sebut ada potensi ekspor minyak sawit dalam kemasan ke Afrika
SBE digolongkan sebagai limbah B3 dari sumber spesifik khusus dalam PP Nomor 101/2014 mengenai Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. Dalam aturan tersebut SBE memiliki kode kategori B413, dikatakan Sahat Sinaga, penetapan SBE sebagai limbah B3 merugikan pelaku usaha minyak goreng dan produk hilir lainnya. Sebab, SBE ini memiliki potensi produk bernilai tinggi yaitu recovered oil (R-Oil) yang di negara maju produk tersebut memiliki nilai lebih dibanding dengan minyak sawit.
Di negara lain seperti Malaysia dan India, SBE digolongkan sebagai limbah non B3. Di Malaysia, SBE masuk kategori solid waste. Akibatnya dari diskriminasi yang demikian ini dalam industri pemurnian minyak sawit Indonesia , kata Sahat, Malaysia dapat mengklaim produknya sangat sustainable karena tidak ada kontak sedikit pun dengan material bersifat B-3.
Sementara itu, produk sawit Indonesia bisa didiskreditkan tidak sustainable karena dapat terkontaminasi oleh limbah B-3 sesuai dengan PP 101/2014. Ini bisa berakibat produk sawit negara lain lebih berdaya saing di pasar global.
Dalam laporan GIMNI, negara-negara pengolah minyak nabati menjadi refined oils– seperti Malaysia, Eropa, India dan lainnya juga menghasilkan SBE namun SBE mereka itu tidak masuk kategori Limbah B3. Malaysia memasukkan SBE ke dalam Solid Waste dan harus diolah begitupula harus diuji TCLP apabila mau dipakai untuk land-filling.
Sejatinya, PP 101/2014 dalam pasal 7 ayat 7 sudah memberikan ruang untuk penggantian status limbah B3 menjadi non B3 melalui prosedur tertentu uji TCLP dan toksikologi. Seharusnya, regulator yang membuktikan bahwa SBE betul sebagai limbah B-3 karena gagal memenuhi uji karakteristik Limbah B-3. Malahan, pengujian ini diserahkan kepada masing-masing individu dan perusahaan untuk membuktikan bahwa SBE bukan Limbah B-3.
Menurut Sahat, SBE masuk kategori 2 karena memiliki efek tunda yang berdampak tidak langsung pada manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisitas, sub-kronis atau kronis. Uji Karakteristik LB3 sesuai peraturan yang tertulis di Lampiran II – PP101/ 2014, telah dilaksanakan berbagai perusahaan besar yang berkemampuan untuk melakukan uji karakteristik limbah B-3 yang terkenal sangat mahal itu, namun dari hasil analisa laboratorium yang terakreditasi bahwa test-result tidak menunjukkan adanya petunjuk ke arah toksisitas, sub kronis atau kronis. Tetapi sampai saat ini tidak ada solusi Kementerian LHK.
Baca Juga: Cargill ingin menghadirkan pasar kakao yang transparan dan berkelanjutan
SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi solvent extraction, namun produk yang dihasilkan berupa R-Oil dan De-OBE ( de Oiled Bleaching Earth) juga tidak jelas kategorinya, apakah masuk B-3 atau tidak menyebabkan Industri Pengolahan SBE ini ada yang gulung-tikar, dan tidak berminat meneruskan pabrik pengolahan ini beroperasi karena berbagai kesulitan yang dihadapi sehari-hari, dan juga adanya perusahaan-perusahaan yang mendapat izin pengolahan limbah B-3 SBE, tapi tidak jelas nasib dari SBE yang diterima itu diolah atau tidak.
Teknologi Solvent Extraction dapat mengolah B3 –SBE menjadi produk seperti pasir De-OBE dan minyak R-Oil. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi antara lain subtitusi pasir untuk pembuatan bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrisi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, re-use bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.
Sahat menjelaskan dalam lima tahun terakhir ini hanya ada tiga unit pengolahan SBE melalui Solvent Extractor yang berdiri dari target jumlah 20 unit. Solvent Extractor berada di areal Sentul, Jawa Barat,yang beroperasi pada 2016 tetapi kondisinya mati suri. Pabrik ke-2 berlokasi di Tanjung Morawa, Sumatera Utara beroperasi tahun 2017 , dan pabrik ke-3 berada di Gresik, Jawa Timur sedang dibangun.
Dijelaskan Sahat, ada satu perusahaan solvent extractor yang sudah beroperasi dari tahun 2015 – 2017 tetapi menghentikan operasinya pada 2018 karena berbagai alasan antara lain banyak pemilik izin Pengelola Limbah B-3 ( padahal tidak memiliki fasilitas ) menawarkan biaya olah SBE di sekitar Rp 450–Rp 500/kg sedangkan biaya pengolahan dengan solvent extraksi berkisar Rp 1.000-Rp. 1.150/kg. Persoalan lainnya adalah biaya angkut ke calon pengguna De-OBE untuk menjadi substitusi pasir pada industri batako dan pengerasan pondasi sekitar 20% di atas biaya normal karena transporter menganggap bahwa De-OBE itu masih berupa material B-3
Walaupun PP 101/2014 sudah berjalan 6 tahun, dikatakan Sahat, sampai saat ini investor tak tertarik untuk berinvestasi olah SBE jadi minyak nabati ( R-Oil ) dan De-OBE (DeOiled Bleaching Earth) karena hasil olahan berupa produk samping DeOBE tetap di cap sebagai Limbah B-3. Sahat menghitung dengan perkiran volume SBE antara 600.000 ton sampai 750.000 ton, akan dibutuhkan 17 unit pengolahan SBE menjadi recovered oil (R-oil) dan De-Oiled Bleaching Earth (OBE). Saat ini, baru ada tiga unit pengolahan dengan kapasitas produksi 300 ton per hari, sedangkan yang beroperasi hanya 2 unit pengolahan.
Baca Juga: Ekspor pertanian masih naik di tengah pandemi, pengamat: Bukti tetap jadi andalan
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dalam pidatonya menyatakan bahwa, Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical.
Dari hasil penelitian, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati berdampak peningkatan jumlah limbah SBE sehingga akan menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik.
Vivien menerangkan lebih lanjut, data Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK (SIRAJA) mencatat timbulan limbah SBE yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir terus meningkat. Tahun 2017 sebesar 184.162 ton, tahun 2018 meningkat sebanyak 637.475 ton serta tahun 2019 sejumlah 778.894 ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News