Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permasalahan pada hulu tambang bauksit menjadi salah satu penghambat hilirisasi bauksit dalam negeri.
Asal tahu saja, dalam prosesnya, bijih bauksit dimurnikan dengan Proses Bayer, hingga mendapatkan alumina. Kemudian, alumina dilebur dan dimurnikan lagi menjadi aluminium pada smelter aluminium.
Dari sisi hulu, sebagai pemasok bahan baku smelter, Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) mengatakan pihak penambang masih berjibaku dengan harga bauksit yang dibeli di bawah Harga Patokan Mineral (HPM).
Untuk diketahui, berdasarkan data ABI, smelter bauksit yang telah beroperasi di Indonesia saat ini adalah sebanyak empat buah. Dengan jumlah refinery atau pabrik pemurnian yang lebih sedikit, pemilik smelter memiliki celah membeli bauksit di bawah HPM.
Baca Juga: Volume Penjualan Semen Baturaja (SMBR) Meningkat 21%, Ini Faktor Pendorongnya
"Refinery dibangun dari tahun 2009 sampai dengan 2025 itu baru empat refinery. Sekarang jumlah penambang itu ada 70 (perusahaan), yang punya RKAB ada 30. Kalau setiap pemegang RKAB itu dapat sejuta (produksi) saja setahun (menambang) dapat 30 juta ton," jelas Ketua Umum ABI Ronald Sulisyanto di agenda Minerba Convex, Kamis (16/10/2025).
Menurut Ronald, target penambahan smelter bauksit dalam negeri juga harus disertai dengan harga yang sesuai dengan HPM yang sudah ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM.
"Untuk apa sih refinery itu kita didirikan? Adalah untuk menampung hasil produksi bauksit. Bagaimana mungkin penambang itu memproduksi bauksit kalau nggak bisa dijual? Karena kita udah nggak boleh ekspor," jelas dia.
Selain masalah harga, Ronald bilang, penambang bauksit juga menghadapi masalah dengan izin lahan yang saat ini mayoritas sudah masuk dalam perkebunan sawit melalui izin Hak Guna Usaha (HGU).
"Kita jangan selalu gembar-gemborkan cadangan (bauksit) gede masih bisa ditambang 60 tahun lagi. Padahal cadangan itu ada di area-area namanya HGU, mayoritas kebun sawit itu," kata dia.
Sebelumnya dalam catatan Kontan, ketentuan HPM diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) 72.K/MB.01/MEM.B/2025 adalah aturan penetapan harga patokan mineral (HPM) dan harga patokan batubara (HPB).
Kemudian di revisi dengan keluarnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 268. K/MB.01/MEM.B/2025 mengubah peraturan Harga Patokan Mineral (HPM) menjadi dasar penghitungan royalti dan pajak, bukan sebagai acuan harga jual transaksi yang harus mengikuti mekanisme pasar.
Penambang kini dapat menjual mineral di bawah HPM sesuai kesepakatan pasar, namun tetap wajib membayar kewajiban finansial (royalti dan pajak) berdasarkan HPM yang telah ditetapkan.
Dalam catatan Kementerian ESDM di tahun 2023 cadangan bauksit Indonesia tercatat sebesar 7,4 miliar ton, dengan nilai 2,7 miliar ton di antaranya telah siap dieksploitasi.
Baca Juga: Hankook Perluas Pangsa Pasar, Penjualan Melonjak 130% hingga Kuartal III 2025
Selanjutnya: Volume Penjualan Semen Baturaja (SMBR) Meningkat 21%, Ini Faktor Pendorongnya
Menarik Dibaca: PSSI Pecat Patrick Kluivert, Siapa Kandidat Pengganti Pelatih Timnas Indonesia?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News