Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rencana kenaikan upah minimum di kisaran 8,5%–10,5% dinilai belum realistis bagi pelaku industri furnitur.
Sebelumnya koalisi buruh meminta pemerintah menaikkan upah minimum sebesar 8,5% hingga 10,5%, sejalan dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2024. Namun, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menilai kenaikan sebesar itu bisa menekan margin produsen, terutama sektor padat karya dan berorientasi ekspor.
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menjelaskan, perhitungan kenaikan upah yang digunakan serikat pekerja memang mengikuti formula inflasi, pertumbuhan ekonomi nasional, hingga penyesuaian daya beli. Namun, kemampuan bayar industri tidak tumbuh secepat itu.
“Industri furnitur sedang dalam tekanan. Ekspor kita stagnan di kisaran US$ 2,5–3 miliar per tahun dan cenderung turun karena pelemahan pasar Amerika Serikat (AS),” ujarnya kepada Kontan, Senin (27/10/2025).
Baca Juga: Soal Proyek LPG dari Batubara, IMA Ungkap Peran Danantara
Ia mencontohkan, untuk pabrik furnitur kelas menengah, komponen tenaga kerja langsung bisa mencapai 20%–30% dari total biaya produksi. Bila upah naik 10%, maka secara matematis biaya produksi akan naik 2,5%. Namun efek riilnya bisa mencapai 3%–4% karena turut mengerek biaya lembur, tunjangan, serta ongkos subkontraktor.
Nah masalahnya, bagi industri dengan margin bersih yang cenderung tipis, tambahan 3%–4% termasuk sangat besar.
Sobur bilang kenaikan upah bisa saja dilakukan, asal disertai kebijakan pendukung dari pemerintah. Salah satunya melalui skema cost sharing, agar beban koreksi biaya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha.
Ia menyebut, pemerintah bisa memberikan insentif PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP) bagi sektor padat karya, serta subsidi bunga ringan untuk investasi mesin produktivitas seperti CNC atau finishing line.
Menurutnya, langkah itu bukan sekadar bantuan, melainkan langkah menjaga keberlangsungan lapangan kerja nasional.
Selain itu, HIMKI juga menekankan pentingnya stabilitas pasokan bahan baku dan logistik. Harga bahan seperti kayu, rotan, hingga panel MDF yang berfluktuasi dan sering dipermainkan pasar bisa menambah tekanan biaya bagi produsen.
“Kalau bahan baku lokal distandarisasi dan harganya stabil, kami bisa menyerap kenaikan upah karena ada ruang efisiensi di sisi bahan baku,” jelas Sobur.
Diplomasi Dagang Jadi Kunci
HIMKI juga mendorong pemerintah lebih aktif dalam negosiasi dagang internasional, terutama mengingat ancaman kenaikan tarif impor furnitur di pasar utama seperti Amerika Serikat yang bisa mencapai 50%.
“Kalau biaya tenaga kerja domestik naik dan akses pasar ekspor makin ketat, Indonesia bisa kalah dari pesaing seperti Vietnam atau Meksiko,” kata Sobur.
Menurutnya, kebijakan upah semestinya tidak dipandang semata hubungan antara buruh dan pengusaha, melainkan satu paket kebijakan industri. Pemerintah perlu memastikan keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan daya saing industri.
“Buruh ingin daya beli naik, pengusaha ingin tetap hidup dan menyerap tenaga kerja. Negara harus menjembatani keduanya,” tegas Sobur.
Baca Juga: Amman Mineral (AMMN) Ungkap Bagian Smelter di Sumbawa Barat yang Alami Kerusakan
Selanjutnya: Belanja Makin Untung dan Hemat dengan Flashback Sale ShopeePay 11.11
Menarik Dibaca: Rahasia Anggrek Putih Mekar Indah Sepanjang Tahun, Begini Cara Merawat Bunga Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













