Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelemahan daya beli masyarakat mulai terasa di industri furnitur. Penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) ke level 115 pada September 2025, terendah sejak Mei 2022, memberi sinyal hati-hati bagi pelaku usaha mebel yang bergantung pada belanja rumah tangga kelas menengah.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyebut, sejumlah pelaku usaha mebel melaporkan kinerja kuartal III-2025 yang flat sampai minus satu digit dibanding periode yang sama tahun lalu.
Itu terjadi akibat sikap wait-and-see buyer di tengah prospek tarif Amerika Serikat (AS) pada bulan Oktober dan menurunnya pesanan Eropa serta China. Meski trennya berbeda pada tiap segmen, menurutnya ini menjadi indikator perlambatan ringan.
Baca Juga: Industri Houseware Hadapi Gempuran Produk Impor dan Minim Standardisasi
Hal itu juga sejalan dengan PMI manufaktur Indonesia yang kembali turun menjadi 50,4 pada waktu yang sama, yang menandakan perlambatan ekspansi dan pelemahan permintaan meski belum masuk ke zona kontraksi.
“Meski ekspor nasional periode Januari–Agustus 2025 masih tumbuh 7,7% (secara year-on-year atau yoy), polanya tak merata antar komoditas dengan perlambatan yang masih terjadi pada industri furnitur,” jelas Abdul kepada Kontan, Kamis (9/10/2025).
Ia menilai kondisi saat ini memang menekan permintaan furnitur domestik. Konsumen menahan pembelian barang tahan lama seperti furnitur, terutama segmen menengah.
Imbasnya, tenaga kerja otomatis kena penyesuaian. Dengan karakter biaya tenaga kerja yang tinggi dalam struktur biaya, penyesuaian awal biasanya melalui pengurangan lembur/shift sebelum PHK (pemutusan hubungan kerja).
Ia bilang hingga kini HIMKI melihat kasus PHK luas belum menjadi pola. “Yang lebih banyak terjadi adalah penyesuaian jam kerja di pabrik yang ekspos ke pasar AS atau Eropa. Namun kami tekankan, skala dan dampak sangat bervariasi per klaster daerah dan segmen produk,” paparnya.
Prospek Pemulihan
Baca Juga: Pebisnis Migas hingga Industri Manufaktur Soroti Dampak Pelemahan Kurs Rupiah
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja furnitur nasional (HS 94) pada tahun 2024 mencapai US$ 1,43 miliar, dengan AS menyerap 54–60%. Ketergantungan ini membuat industri furnitur domestik sensitif terhadap siklus ekonomi dan kebijakan perdagangan di pasar tersebut.
Nah, menurut Sobur, diversifikasi destinasi dan naik kelas ke produk value added seperti finishing premium, modular built-up, serta contract/hospitality furniture menjadi kunci menjaga utilisasi kapasitas dan serapan tenaga kerja.
Di samping itu, untuk menjaga utilisasi industri dalam negeri, penguatan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan e-Katalog sebagai jaring pengaman permintaan domestik juga menjadi penting.
Sesuai regulasi pengadaan, penggunaan produk dalam negeri diwajibkan bila TKDN + BMP mencapai minimal 40%. Selain itu, LKPP juga telah memperkuat mekanisme mini competition di e-Katalog untuk mempercepat proses belanja pemerintah.
“Ini peluang besar bagi pabrikan kecil dan menengah. Reformasi TKDN 2025 mempermudah dan memperpanjang masa berlaku sertifikasi, bahkan membuka opsi self-declare bagi IKM,” ujar Sobur.
Lebih lanjut, Sobur bilang investasi baru yang paling cepat menyerap tenaga kerja berada di sektor komponen furnitur, seperti panel MDF/veneer finishing, upholstery, dan metal fitting.
Selain itu, pengembangan klaster assembling dekat pasar domestik atau proyek pemerintah, serta modernisasi pabrik untuk memperpendek lead time proyek hospitality dan infrastruktur sosial (sekolah, puskesmas, rusun), juga menjadi strategi utama.
Baca Juga: Kebut Kinerja, Impack Pratama Industri (IMPC) Tambah Produk
Selanjutnya: Akan Berlaku Di Indonesia, BBM Etanol Sudah Sejak Dahulu Digunakan Di AS
Menarik Dibaca: 10 Kebiasaan Sederhana yang Bikin Panjang Umur, Intip di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













