Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Indonesia mengancam pasar ekspor sawit ke AS.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor sawit Indonesia ke AS, terutama untuk produk RBD Palm Olein yang merupakan produk turunan dari Crude Palm Oil (CPO) cukup menjanjikan.
Dalam jangka waktu lima tahun terakhir ekspor produk sawit dan turunannya ke Amerika meningkat. Yang tertinggi pada tahun 2023 dengan volume sebesar 2,5 juta ton dengan nilai impor berkisar US$ 1,1 sampai US$ 2,9 miliar.
"Dalam 5 tahun terakhir ini, ekspor ke AS mengalami peningkatan. Jadi dari 2020-2024 itu naik, kalau sebelum 2020 kita ekspor masih di bawah 1 juta (ton)," ungkap Ketua Gapki, Eddy Martono kepada Kontan, Selasa (8/4).
Baca Juga: Harga CPO Bertahan di Atas MYR 4.000, Tekanan Global Masih Bayangi Pasar
Eddy menjelaskan, salah satu alasan naiknya ekspor sawit Indonesia ke AS dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah karena AS punya beberapa kebijakan kesehatan yang berkaitan dengan makanan.
"Contoh margarin, kalau dibuat dengan minyak kedelai itu tidak diperbolehkan. Karena akan menghasilkan lemak trans atau trans fat. Ini nggak sehat," jelasnya.
Dengan permintaan yang bertambah, Eddy bilang, market share produk sawit dan turunannya dari Indonesia di AS telah mencapai 89%, sisanya diisi Malaysia dan beberapa negara Amerika Latin.
Bisa Direbut Malaysia
Jika melihat proporsi asal negara impor, kata Eddy, Indonesia memang masih menjadi produsen sawit terbesar di dunia, disusul Malaysia. Ini berlaku pula untuk pasar AS.
Namun, tarif impor tinggi Trump akan membuka peluang masuknya Malaysia ke pasar AS. Sebab, persentase tarif timbal balik yang ditetapkan AS kepada Indonesia sebesar 32%, sedangkan Malaysia dikenakan tarif impor sebesar 24%.
"Kita melihat bahwa produksi Malaysia itu yang paling memungkinkan untuk suplai ke AS. Karena produksi mereka sekarang itu di angka 18 juta ton (per tahun) atau kira-kira 36% dari produksi total Indonesia," jelas Eddy.
Disisi lain, Amerika Latin secara produksi belum mampu menyaingi Indonesia dan Malaysia. Negara-negara seperti Brasil, Columbia, Costa Rica, Honduras, Guatemala, Ekuador juga masih memiliki kewajiban untuk memenuhi pasokan minyak sawit di dalam negeri masing-masing.
Keunggulan produk sawit dan turunan dari Malaysia juga didukung beban komoditas yang lebih rendah dari produk sawit Indonesia.
Di Indonesia, industri sawit berorientasi ekspor dikenakan tiga beban yaitu Domestic Market Obligation (DMO), Pungutan Ekspor (PE) serta Bea Keluar (BK).
"Nah, total dari beban-beban itu yang harus ditanggung kira-kira sekitar US$ 221 per metric ton. Sementara Malaysia, ini berdasarkan policy mereka ya, bebannya itu hanya US$ 140 per metric ton," jelas Eddy.
Baca Juga: Pungutan Ekspor CPO Menguat Jadi US$ 961,54 Per Metrik Ton, Bea Keluar Tetap
Dengan beban dan persentase tarif timbal balik yang lebih rendah, harga produk sawit Malaysia dibanding Indonesia di AS menurut Eddy akan menjadi lebih kompetitif.
"Nah ini kita mesti waspada disini, jangan kita meremehkan. Karena pasar Amerika (ekspor) itu sebenarnya masih bisa tingkatkan bahkan mungkin sampai 3 juta ton," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News