Reporter: Ahmad Febrian, Dendi Siswanto | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca menaikkan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau, pemerintah berancang-ancang mengerek tarif cukai rokok pada tahun depan. Hal ini menjadi salah satu upaya dalam mengerek penerimaan cukai 2026.
Kebijakan ini, berlandaskan empat pilar, yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan pengawasan rokok ilegal.
Pemerintah memang butuh uang. Di sisi lain, rokok dituding menjadi salah satu penyebab tingginya biaya kesehatan. Kanker paru misalnya, merupakan penyebab kematian nomor satu akibat kanker pada laki-laki. Sementara pada perempuan, penyakit ini menempati posisi keenam. Secara keseluruhan, kanker paru berada di peringkat ketiga terbanyak di Indonesia untuk kedua jenis kelamin.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kanker paru di Indonesia. Salah satunya adalah tingginya prevalensi merokok, terutama pada laki-laki.
Di balik tarik menarik antara kebutuhan pemerintah dan penyakit, ada nasib pekerja industri rokok Seperti Evi Setyorini, yang selama setahun terakhir menjalani peran sebagai orangtua tunggal bagi kedua anaknya.
Baca Juga: Antisipasi Rokok Ilegal, Kemenperin Godok Aturan Mesin Pelinting
Tak hanya harus menanggung kedua anaknya, Evi juga menjadi tumpuan ekonomi bagi kedua orangtua dan neneknya. Warga Tuban, Jawa Timur ini awalnya bekerja di sebuah warung makan. Penghasilan sebagai pekerja warung makan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi dengan adanya kewajiban yang harus dipenuhi.
Di tengah impitan ekonomi, Evi berharap ada peluang pekerjaan yang lebih baik. Suatu ketika, ia mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan di Mitra Produksi Sigaret (MPS) PT HM Sampoerna Tbk di Dander milik Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro.
Maka, Evi melamar pekerjaan sebagai pelinting Sigaret Kretek Tangan (SKT). "Saya punya keinginan kuat untuk bekerja di Sampoerna. Walau agak khawatir, apakah saya bisa diterima karena cuma lulusan SD,” kata Evi, dalam keterangannya, Jumat.
Setahun berjalan, ia merasakan lingkungan kerja yang mendukung dan membantu pengembangan dirinya. Menurut Evi, para pemimpin di MPS Dander membekali para karyawan dengan program yang matang dan mendorong agar setiap orang memiliki kemampuan yang semakin baik dan lebih produktif.
Setahun menjadi karyawan di MPS Dander, Evi merasakan kondisi perekonomian yang lebih baik. Ia bisa menyekolahkan anak sulungnya yang berusia 15 tahun di pesantren, demikian pula anak keduanya. Ia juga bisa menyokong kebutuhan kedua orangtua dan neneknya.
Baca Juga: Dari Meja Pelinting ke Lapak Usaha
Cerita lain datang dari Rizqi Mega Silvia Ningrum.. Warga Bojonegoro, Jawa Timur ini juga setahun terakhir bekerja sebagai pelinting di MPS Dander. Ketika melihat lowongan pekerjaan sebagai pelinting SKT di MPS Dander, ia tak ingin melewatkan kesempatan itu.
“Ketika ada MPS Dander, terbantu sekali. Ibu-ibu yang biasanya di rumah, jadi bisa bekerja untuk menambah pemasukan keluarga, dan sangat membantu perekonomian keluarga,” kata Silvi.
Akhirnya, Silvi diterima bekerja sebagai pelinting sejak Januari 2024. Di sini diajarkan, dibimbing, dirangkul, agar bisa bekerja semakin baik dari hari ke hari. Misal kita tidak mengerti, para pemimpin akan merangkul. Ini yang membuat saya betah dan percaya diri,” kata Silvi.
Setelah setahun bekerja sebagai pelinting di MPS Dander, Silvi merasakan kondisi perekonomian keluarganya semakin stabil. Suaminya, yang sebelumnya merantau ke Surabaya, kini memilih mencari pekerjaan di Bojonegoro agar bisa membantu merawat kedua anaknya.
Selanjutnya: Harga Kambing Kurban di NTT Menurut Dompet Dhuafa 2025, Termurah Rp 1,75 Juta
Menarik Dibaca: Eramet Dorong Pertambangan Berkelanjutan Lewat Inisiatif Sosial dan Lingkungan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News