kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,97   -24,76   -2.67%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini penyebab IMIP bisa salip INCO dan ANTM rajai produksi olahan nikel di Indonesia


Selasa, 20 Oktober 2020 / 19:47 WIB
Ini penyebab IMIP bisa salip INCO dan ANTM rajai produksi olahan nikel di Indonesia
ILUSTRASI. Kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di?Sulawesi Tengah.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mampu mengubah peta produsen nikel olahan di Indonesia hanya dalam kurun waktu 4 tahun. Sejak tahun 2018, IMIP menyalip PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang menguasai produksi nikel olahan di tanah air.

Praktisi tambang dan smelter nikel Arif S. Tiammar menganalisis faktor penyebab agresifnya IMIP dalam menggesar dominasi INCO dan ANTM dalam peta industri nikel olahan. Menurutnya, INCO dan ANTM sejatinya sudah sejak lama memiliki rencana pengembangan kapasitas produksi nikel olahan.

Hanya saja, keduanya tidak bergerak cepat dalam mengeksekusi rencananya, lantaran terhambat berbagai macam pertimbangan dan persetujuan. "Antam maupun Vale sebenarnya sudah sejak lama merencanakan pengembangan kapasitas produksi namun keputusan akhir atas eksekusi dari keduanya selalu mengalami pengunduran dengan berbagai alasan. Keduanya memerlukan waktu dan persetujuan panjang untuk memutuskan melalui jalur birokrasi," kata Arif saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (20/10).

Beda nasib dengan IMIP, disokong oleh investor dari China, yakni Tsingshan Group, keputusan yang diambil sangat cepat untuk mengeksekusi kajian dan perencanaannya. "IMIP keputusannya sangat cepat. Setelah evaluasi komprehensif dilakukan, keputusan finalnya terletak pada seorang pemegang saham terbesar yang berkuasa penuh yaitu Tsingshan Group," sambung Arif.

Selain itu, tipikal pengembangan produk nikel antara IMIP, INCO dan ANTM memang berbeda. INCO maupun ANTM sama-sama mulai berangkat dari pemain tambang hingga penghasil produk antara, seperti nikel matte dan FeroNikel (FeNi). Sedangkan Tsingshan Group sebagai pemilik saham terbesar IMIP mulai dari pemain stainless steel.

"Sebagai produser sekaligus pemasar stainlees steel, Tsigshan tahu persis peta kebutuhan nikel dan pasar di ujung. Sedangkan Antam dan Vale memakai pendekatan lain," kata Arif.

Baca Juga: Perusahaan tambang menjaga tingkatan pendanaan korporasi

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah sokongan dana. Sebab, pengembangan kapasitas smelter itu memerlukan dana sangat besar. Kata Arif, IMIP melalui Tsingshan mendapatkan sokongan dana melalui skema pinjaman sangat murah. Sedangkan INCO dan ANTM menghadapi permasalahan tidak sesederhana Tsingshan dalam hal pendanaan.

Arif memproyeksikan, peta persaingan produsen nikel dan smelter olahannya akan semakin dinamis dalam beberapa tahun ke depan. Pemainnya akan semakin beragam, apalagi didorong oleh pengembangan teknologi untuk menopang bahan baku baterai mobil listrik.

Dia bilang, teknologi yang akan digunakan juga tidak melulu berupa smelter jenis RKEF dan Blast furnace yang berbasis pirometalurgi. Tapi akan juga digunakan leaching plant (HPAL dan AL) yang berbasis hidrometalurgi. 

"Selama ini RKEF dan BF hanya mengolah bijih nikel saprolit yang berkadar tinggi. Dalam waktu dekat, tidak tertutup kemungkinan ada RKEF atau BF akan mengolah bijih nikel kadar rendah (limonit)," katanya.

Peta pergeseran pun akan mulai beralih ke  penggunaan untuk baterai ion litium (LiB) tidak lagi didominasi oleh stainless steel. Dalam waktu tidak terlalu lama, akan bermunculan para pemain LiB masuk ke industri smelter dan leaching plant. "Mereka berkepentingan untuk mencari jaminan pasokan bahan baku agar produk LiB yang dihasilkan memiliki daya saing tinggi," pungkas Arif.

Asal tahu saja, merujuk pada data yang dipaparkan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai oleh Vale dengan porsi 77%. Disusul Antam dengan 19% dan perusahaan lainnya sebanyak 3%. 

Namun, peta industri hilir nikel hingga produk setengah jadi (intermediate product) itu telah berubah dengan drastis. Pada 2018, IMIP sudah menguasai 50% dari produksi hilir nikel di Indonesia. 

Porsi Vale pun susut jadi 22% dan Antam hanya 5% saja. Perusahaan nikel BUMN itu bahkan sudah tersalip oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11%, Harita Group 6% dan perusahaan lainnya sebanyak 6%.

"Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya," ungkap Irwandy dalam webinar tentang pemanfaatan nikel yang digelar Selasa (13/10).

Menurut Irwandy, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.

Secara keseluruhan, lebih dari 90% produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis NPI. "Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99%, atau semuanya 100% masih intermediate produk. 90% lebih adalah produk NPI," ujar Irwandy.

Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau FeroNikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) masih mini.

Baca Juga: Morowali Industrial (IMIP) merajai produksi nikel olahan di Indonesia

Saat ini, kebutuhan nikel global  juga masih didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71%. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya masih mini, seperti baterai yang sebesar 3%.

Namun, pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan, paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel dengan High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dari keenam smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.

Keenam perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.

Belum lagi, rencana holding pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik baterai integrasi.

Selanjutnya: Enggan akuisisi PLTU Paiton, ini fokus Adaro Energy (ADRO) di bisnis kelistrikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×