Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Produksi gas bumi di Indonesia dari tahun 2015-2017 rata-rata adalah 2,9 tcf/ tahun. Sekitar 60% dari produksi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya diekspor dalam bentuk LNG dan gas pipa.
Sesuai dengan data dari BP Energy Oulook 2019, reserve to production ratio untuk cadangan gas bumi Indonesia cukup untuk periode 37,7 tahun. Kemampuan produksi gas bumi Indonesia sebesar 73,2 mfc, sedangkan laju konsumsi gas bumi Indonesia per tahun sebesar 39,0 mfc. Kondisi ini, masih jauh di bawah kemampuan produksi gas bumi Indonesia.
Dari total produksi 2,9 tcf/tahun, PGN hanya menyalurkan sekitar 0,31 tcf/tahun atau 11%. Artinya, peluang-peluang ke depan masih terbuka luas dalam hal pembangunan infrastruktur maupun pemenuhan gas bumi.
Baca Juga: S&P pasang status creditwatch negatif dan pangkas rating PGAS jadi BB
Peran agregator ini dapat mengonsolidasi seluruh sumber gas bagi seluruh pengguna secara berkelanjutan. Menjamin distribusi gas ke seluruh wilayah, mendorong perumbuhan ekonomi melalui infrastruktur yang mumpuni, serta mengatasi masalah pasokan.
Di sisi lain, peran agregator dapat menyeragamkan harga pada pengguna akhir, yang mana harga gas di hulu maupun biaya infrastruktur yang bervariasi. Dengan begitu, diharapkan mampu menciptakan kondisi yang menjamin keekonomian produksi gas di hulu dan memenuhi kebutuhan gas dengan harga yang kompetitif dan relatif stabil bagi seluruh pengguna hilir.
Dengan adanya agregator gas maka percepatan pengembangan infrastruktur dan pasar-pasar baru akan menjadi lebih feasible karena keekonomian nya ditopang oleh infrastruktur eksisting. Selain itu keberadaan agregator gas dapat membuat harga jual gas di seluruh wilayah Indonesia lebih merata dan berkeadilan.
“Kami yakin bahwa PGN dapat terus berkembang dan memantapkan peran sebagai Subholding Gas serta cita-cita sebagai aggregator sebagai bagian dari keluarga besar holding migas,” pungkas Suko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News