Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.COID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi sinyal bakal memangkas target produksi nikel pada 2026, seiring kebijakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang membatasi izin pembangunan smelter baru.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengungkapkan, kebijakan pembatasan tersebut perlu dilakukan karena pasokan nikel global dan domestik sudah berlebih (oversupply). Oleh karena itu, ESDM siap menyesuaikan rencana produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 agar sesuai dengan kebutuhan pasar.
“Kalau moratorium untuk itu, karena kita oversupply untuk itu, ya kita dukung lah kalau itu,” kata Tri di Kementerian ESDM, Senin (10/11).
Tri menyebut, penyesuaian produksi kemungkinan besar akan membuat kuota produksi nikel 2026 berada di bawah realisasi tahun ini yang mencapai sekitar 319 juta ton.
Baca Juga: Rencana Merger Grab-GOTO Dinilai Bakal Memicu Persaingan Usaha Tidak Sehat
“Pokoknya yang lebih-lebih tinggi kita evaluasi lah. Kan over 300.000-an ton, Bisa jadi [dibawah 300.000 ton],” tegasnya.
Tri menjelaskan, Kementerian ESDM membawahi smelter nikel yang terintegrasi dengan izin usaha pertambangan (IUP), sedangkan smelter yang berdiri sendiri atau standalone menjadi tanggung jawab Kemenperin. Setelah Kemenperin memperketat penerbitan izin usaha industri (IUI) smelter baru, ESDM akan menyesuaikan kebijakan suplai bijih nikel ke pasar.
“Nanti kita akan lakukan pembahasan kalau misalnya seperti apa. Akan tetapi, poinnya adalah untuk yang di UU Minerba itu untuk menyiapkan untuk produk ini. Makin hilir kita pasti akan dukung,” kata Tri.
Menurut Tri, jumlah smelter nikel yang terintegrasi dengan tambang masih terbatas, hanya sekitar tujuh perusahaan, dan sebagian belum beroperasi optimal. Karena itu, ia menilai pembatasan izin smelter baru justru dapat mempercepat hilirisasi nikel ke produk bernilai tambah lebih tinggi.
Asal tahu saja, tahun ini produksi bijih nikel nasional dibidik sekitar 220 juta ton, lebih rendah dibandingkan target tahun lalu sebesar 240 juta ton.
Tri menambahkan, target produksi pemerintah berbeda dengan kuota yang disetujui dalam RKAB perusahaan, sebab kuota dalam RKAB biasanya lebih besar dari target nasional yang ditetapkan pemerintah.
Diberitakan Kontan sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pemerintah resmi melakukan pembatasan investasi smelter nikel melalui Izin Usaha Industri (IUI) di sektor nikel.
Menurut lembaga riset independen, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) munculnya peraturan ini adalah langkah ini bisa dipandang sebagai upaya melakukan koreksi terhadap laju ekspansi berlebihan smelter yang tidak sesuai kebutuhan pasar.
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira peluang rebound harga nikel tidak saja soal jumlah produksi olahan nikel.
Oleh karena itu, pembatasan izin smelter nikel baru sebaiknya diikuti dengan ketegasan regulasi, konsistensi kebijakan dan peta jalan dekarbonisasi yang menjunjung tinggi perlindungan lingkungan dan hak masyarakat di wilayah tambang.
Asal tahu saja, dalam PP ini, pembatasan izin smelter ditujukan kepada perusahaan-perusahaan pengolahan nikel baru (smelter) yang memproduksi produk antara nikel, baik yang mengadopsi metode pemurnian pirometalurgi (teknologi RKEF) maupun hidrometalurgi (teknologi HPAL).
Mengutip data dari Kementerian ESDM, jumlah smelter nikel yang sudah berdiri di Indonesia saat ini adalah sebanyak 54 smelter. Sementara itu terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan.
“Jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementrian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total IUPK seluas 866.292 Ha (Hektare)," ungkapnya Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Minggu (09/11/2025).
Baca Juga: Indonesia Pemain Kunci Industri Event Bisnis Asia di A20 dan IBEF 2025
Menurut Bhima, dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, selain moratorium smelter juga diperlukan moratorium tambang nikel.
"Meski izin smelter baru di moratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang — memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial.” tambah Bhima.
Adapun, dalam laporan bersama, CELIOS dan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA)mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar US$ 234,84 juta (Rp3,64 triliun) dalam 13 tahun ke depan, dan potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada tahun 2025 dan hampir 5.000 kasus pada tahun 2030.
Peneliti CELIOS, Attina Rizqiana menambahkan bahwa pembatasan terhadap izin smelter nikel, harus ditindak lanjuti dengan pembatasan pada IUPK perusahaan, yang notabene memiliki izin pertambangan, konsesi maupun pengolahan nikel.
“Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan
fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan.” ungkap Kiki.
CELIOS juga mencermati adanya kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana Danantara yang ingin membangun smelter baru. Contohnya pembiayaan proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China), melalui program Danantara.
Tanpa adanya pembatasan yang sejalan di tingkat hulu (IUP), peta jalan dekarbonisasi yang tegas, dan integrasi kebijakan lingkungan yang nyata, kebijakan pembatasan IUI berisiko
menjadi langkah kosmetik.
“Seolah memperlambat ekspansi secara administratif, tapi tidak mengubah arah struktural pembangunan industri yang masih berbasis ekstraktivisme dan emisi tinggi.” tutup Kiki.
Baca Juga: Konstruksi Tol Japek II Selatan Capai 72,04%, Cek Detailnya!
Selanjutnya: Kapan Lepas Bakal Rilis di Indonesia, Begini Bocoran Chery!
Menarik Dibaca: 15 Rekomendasi Buah yang Bisa Menurunkan Berat Badan Jika Dikonsumsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













