Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda kenaikan harga gas bumi untuk industri disambut positif oleh sejumlah pihak. Saat ini, rata-rata harga gas untuk sektor industri adalah sebesar US$ 9- US$ 10 per MMBtu.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, Achmad Widjaja menilai kebijakan Jokowi cukup melegakan para pelaku industri. Menurutnya, harga gas yang relatif rendah bisa mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja dan penghematan devisa.
Baca Juga: Resource Alam Indonesia (KKGI) membidik kenaikan produksi batubara pada tahun 2020
Adapun untuk harga ideal yang diharapkan pelaku usaha, Achmad menyatakan sesuai harga yang sudah dirujuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yaitu sebesar US$ 6 per MMBTU.
"Saat pemerintah keluarkan kebijakan untuk bantu industri secara efektif. Harus ada garis komando Presiden, Kementerian ESDM perlu pelajari insentif bahwa harga US$ 6 itu harus sungguh-sungguh diberikan," kata Achmad, Rabu (6/11).
"Dengan angka itu industri ada planning jangka panjang dalam hal produksi, efisiensi dan lain-lain. Kan posisi industri itu membantu negara, bantu ciptakan lapangan kerja bantu ekonomi dan sebagainya" tambahnya.
Senada dengan Achmad, Pengamat Migas Kurtubi menilai pemerintah perlu mendukung industri guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, harga gas yang mahal justru berpotensi mematikan sektor industri di tanah air.
Baca Juga: APNI: Percepatan larangan ekspor mengakibatkan kerugian hingga Rp 500 miliar
"Seyogyanya gas bisa mendorong industrialisasi. Sesuai amanah pasal 33 UUD 1945, sumber daya alam (SDA) digunakan untuk kemakmuran rakyat. SDA termasuk migas harus diarahkan untuk dorong naiknya pertumbuhan ekonomi. Caranya lewat industrilisasi," kata dia.
Kurtubi mengatakan, harga gas di Indonesia di kisaran US$ 9- US$10 per MMBtu masih relatif mahal. Dia membandingkan dengan harga gas yang diekspor ke Tiongkok ada sebesar US$ 3 per MMBtu dan Jepang di kisaran US$ 11- US$ 12 per MMBtu.
Kurtubi sepakat bila harga gas yang ideal untuk industri yakni sebesar US$ 6 per MMBtu. "Dengan US$ 6 mungkin industri migas bisa lari kencang. Cadangan gas kita juga masih banyak. Misalnya di Maluku itu blok Masela belum dieksplor," ucapnya.
Sedangkan pengamat energi Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara meminta pemerintah berlaku adil terkait permasalahan harga gas industri. “Dalam kondisi seperti sekarang ini, harga gas dunia sedang turun. Jadi kalau dinaikkan memang benar bisa mempengaruhi daya saing produk industri kita. Namun, pemerintah seharusnya juga siap berkorban untuk mengurangi porsi bagi hasil bagian negara,” ujar Marwan.
Data dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, dalam dua tahun terakhir penerimaan negara dari sektor migas selalu melebihi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada 2017, realisasi penerimaan negara dari migas menembus angka Rp 138 triliun alias 117 persen dari target APBN. Sementara tahun lalu, jumlah penerimaan migas mencapai Rp 228 triliun atau 182 persen dari target APBN.
Baca Juga: Produksi emas batangan, Bumi Resources Minerals (BRMS) gandeng Antam
Dengan demikian, masih ada ruang bagi pemerintah berkontribusi menciptakan harga yang adil dengan mensubsidi PGN agar tidak menaikkan harga jual gas ke pelanggan “Dengan memperkecil bagi hasil bagian negara, memang pendapatan sektor ESDM dari migas turun. Tetapi dengan harga gas yang tidak naik karena disubsidi dari bagi hasil bagian negara, industrinya tetap berkembang dan pemerintah dapat kompensasi dari penerimaan pajak penghasilan yang meningkat,” jelasnya.
Praktik negara menyubsidi harga gas untuk pelanggan industri menurut Marwan sudah berhasil diterapkan di Malaysia. Rendahnya harga gas di negeri Jiran ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Below Cost (RBC), di mana pemerintah memberikan subsidi sehingga harga gas di sana bisa separuh dari harga internasional.
Dengan memberikan subsidi harga gas industri, Marwan menyebut minimal harga gas tidak naik. Lalu pemerintah mensubsidi PGN dari sisi harga jual bagian negaranya yang tadi dikurangi. “Malaysia melakukan itu supaya industri manufakturnya meningkat dan pasokan energi dari Petronas tidak terkendala,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News