kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik progres megaproyek 35.000 MW yang diproyeksi bakal kembali molor


Rabu, 26 Agustus 2020 / 10:54 WIB
Menilik progres megaproyek 35.000 MW yang diproyeksi bakal kembali molor
ILUSTRASI. Pekerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk mempersiapkan pengujian pembebanan?tower dan uji tarik material?di?Cilegon, Banten, Senin (24/10). PT Bukaka Teknik Utama Tbk bersama PT Waskita Karya dan PT PLN mengadakan pengujian pembebanan tower transmisi 500 KV dan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Megaproyek ketenagalistrikan 35.000 Megawatt (MW) masih jauh dari target. Hingga Juli 2020, pembangkit listrik yang sudah beroperasi komersial (COD), mendapatkan Sertifikat Laik Operasi (SLO) atau komisioning baru sebesar 8.382 MW atau 24% dari total proyek.

Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini dalam paparannya mengungkapkan, sebanyak 19.067 MW (54%) masih dalam tahap konstruksi, 6.528 MW (18%) masih dalam tahap kontrak (PPA) belum konstruksi, 839 MW (2%) masih tahap pengadaan dan 724 MW sisanya masih dalam tahap perencanaan.

Zulkifli mengkategorikan, proyek pembangkit yang sudah komisioning dan memasuki tahap pengerjaan fisik sekitar 78,4% dan 27,6% sisanya masih dalam tahap perencanaan dan PPA namun belum konstruksi.

Baca Juga: Saat Mulan Jameela soroti utang PLN Rp 694,79 triliun dan lonjakan tagihan listrik

"Artinya sudah lebih dari 3/4 program tersebut dimulai pembangunan fisiknya. Sementara yang sudah benar-benar beroperasi adalah 23,9%," terang Zulkifli dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI yang digelar Selasa (25/8).

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2019-2028, Zulkifli menjelaskan bahwa nantinya akan ada tambahan 56,4 Gigawatt (GW). Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih mendominasi dengan porsi 48%, lalu pembangkit berbasis gas 22% dan pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) 30%.

Dilihat dari porsi kepemilikan pembangkit, dari 56,4 GW tersebut, pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 28%, pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) 43%, kerjasama IPP dan anak perusahaan PLN mencapai 17%, sisanya unallocated dan kerjasama antara wilayah usaha.

Tambahan pembangkit listrik nasional tak hanya berasal dari megaproyek 35.000 MW. Selain megaproyek itu, ada juga program 7.000 MW yang masih berjalan. Hingga Juli 2020, sambung Zulkifli, sebanyak 7.458 MW (94%) sudah COD/SLO atau komisioning sedangkan 458 MW (6%) masih dalam tahap konstruksi.

Baca Juga: Jaga pasokan, begini strategi PLN untuk akuisisi tambang batubara

Sejatinya, kedua program tersebut ditargetkan sudah bisa rampung pada tahun 2023 mendatang. "Sesuai RUPTL 2019-2028, program 35.000 Me dan 7.000 MW direncanakan selesai pada tahun 2023," kata Zulkifli.

Dalam paparannya, direncanakan sudah ada tambahan kapasitas pembangkit sebesar 45.880 MW pada tahun 2023 yang berasal dari program 35.000 MW dan 7.000 MW.

Sayangnya, Zulkifli tidak membeberkan lebih detail terkait  molornya penyelesaian proyek kelistrikan tersebut. Yang jelas, merujuk pada pemberitaan Kontan.co.id, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu bahwa dengan adanya penurunan demand dan pandemi Covid-19, akan ada pergeseran jadwal operasional proyek yang akan dituangkan dalam RUPTL yang baru untuk periode 2020-2029.

Menurut Jisman, untuk melihat pembangkit mana saja yang akan mundur dari jadwal, berapa kapasitasnya dan hingga kapan akan selesai, pihaknya masih menunggu usulan RUPTL baru. Jisman mengatakan pihaknya pun akan menghitung proyeksi pertumbuhan ekonomi bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sebab, proyeksi pertumbuhan ekonomi merupakan landasan dalam memproyeksikan pertumbuhan konsumsi listrik untuk tahun tahun ke depan.

"Pertanyaan pembangkit mana, kapan? sampai berapa tahun mundurnya? tentu harus ada hitung-hitungan. Kami punya semacam tools untuk menghitung, sehingga terlihat pertumbuhan listriknya. Dasarnya pertumbuhan ekonomi akan kami tanyakan ke Kemenkeu," terang Jisman.

Bahkan, proyeksi molornya program 35.000 MW sudah pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana pada Februari 2020 lalu. Kata Rida, mundurnya jadwal penyelesaian proyek mempertimbangkan rendahnya permintaan listrik.

Baca Juga: Pemerintah didesak untuk segera beralih dari pembangkit fosil ke pembangkit EBT

"Karena demand-nya memang rendah, dulu kami prediksi pertumbuhan ekonomi 7%-8%, sehingga listrik bisa 1,2 kali lipat. Tapi pertumbuhan ekonomi ternyata 5%, listrik bahkan di bawah itu, 4,5% untung (pertumbuhan lambat) kalau tidak babak belur," ujar Rida.

Selain itu, katanya, pengembangan ketenagalistrikan khusus pembangkit dihadapkan pada sejumlah kendala seperti pembebasan lahan, perizinan serta isu sosial atau penolakan dari masyarakat.

Adanya kendala-kendala tersebut tak ditampik oleh Zulkifli. Menurutnya, dalam proses pembangunan transmisi, tantangan terbesar yang dihadapi PLN adalah proses pembebasan lahan. Selain itu, adanya pandemi covid-19 juga membuat penyediaan material utama transmisi terhambat.

Sementara di sisi jaringan distribusi, khususnya untuk melistriki wilayah terpencil, tantangannya adalah kondisi geografi dan akses yang sulit membuat pengiriman material menjadi lebih sulit dilakukan.

“Terkait permasalahan lahan kami terus berkoordinasi dengan stakeholder seperti BPN dan Kejaksaan untuk menyelesaikan masalah lahan tersebut,” ujar Zulkifli lewat keterangan tertulisnya, Selasa (25/8).

Baca Juga: Diprediksi kembali molor, megaproyek 35.000 MW baru beroperasi 23% di semester I-2020

Adapun, hingga akhir Semester I-2020, jaringan transmisi khususnya untuk evakuasi daya pembangkit yang telah beroperasi mengalami peningkatan sepanjang 950,9 kilometer sirkuit (kms), dan penambahan kapasitas Gardu Induk sebesar 2.890 Mega Volt Ampere (MVA). 

Anggota Komisi VII DPR RI Ratna Juwita meminta PLN menyusun roadmap yang jelas terkait dengan proyeksi supply-demand, kendala yang dihadapi dalam pengerjaan program 35.000 MW serta upaya yang telah dan akan dilakukan PLN.

Ratna juga meminta agar PLN menghitung dengan cermat dampak keterlambatan penyelesaian proyek terhadap potensi membengkaknya investasi.

"Karena kami yakin dengan meleset dari target yang ini lebih panjang, pasti akan membutuhkan biaya investasi yang lebih besar. Mengingat kondisi keuangan PLN hari ini yang tidak terlalu baik, saya kira penting menyampaikan kondisi sebenarnya seperti apa," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×