kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang untung rugi empat opsi penyelamatan Garuda (GIAA), mana pilihan terbaik?


Minggu, 30 Mei 2021 / 14:45 WIB
Menimbang untung rugi empat opsi penyelamatan Garuda (GIAA), mana pilihan terbaik?
ILUSTRASI. BUMN siapkan 4 opsi atas persoalan Garuda Indonesia, mulai dari bailout, ajukan kebangkrutan sampai likuidasi. ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nampaknya masih berkutat dalam upaya menyelamatkan maskapai penerbangan milik negara: PT Garuda Indonesia Tbk (Garuda).

Lewat dokumen PPT yang dimiliki KONTAN, ada empat opsi atau pilihan dalam upaya menyelesaikan masalah yang membelit emiten dengan kode saham GIAA di Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Merujuk opsi yang dilakukan di banyak negara, ada empat pilihan yang bisa diambil, ke empat opsi ini tentu saja membawa konsekusi masing-masing. 

Opsi pertama, pemerintah akan terus mendukung Garuda. Efek dari putusan ini, pemerintah akan terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas. Opsi ini dilakukan seperti Singapore Airlines, Chatay Pasific serta Air China. 

Baca Juga: Guru besar keuangan UI Budi Frensidy: Kombinasi 3 & 4 bisa jadi pilihan Garuda

"(Opsi ini) berpotensi meninggalkan Garuda dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi yang menantang pada masa depan," tulis dokumen tersebut. 

Sebagai rujukan, Singpore Airlines membukukan kerugian tahunan kedua berturut-turut dengan rekor senilai S$ 4,27 miliar, Rabu (19/5).

Seperti dikutip Reuters, Singapore Airlines akan menerbitkan obligasi konversi senilai S$ 6,2 miliar untuk membantu mengatasi krisis akibat efek wabah corona. 

Aksi korporasi ini merupakan bagian opsional dari paket penyelamatan Singapore Airlines senilai S$ 15 miliar yang dipimpin pemegang saham mayoritasnya Temasek Holdings tahun lalu.

Adapun penerbangan asal Hong Kong, Cathay Pacific Airways mengumumkan kerugian US$ 2,8 miliar setara Rp 40 triliun sepanjang 2020.

Efeknya, Cathay Pacific mengajukan bailout sebesar lebih dari US$ 5 miliar setara Rp 71,5 triliun kepada pemerintah Hong Kong dan pemegang saham.

Adapun Garuda, pada kuartal III 2020  membukukan kerugian sebesar sebesar US$1,07 miliar atau Rp16,03 triliun dengan kurs Rp 14.300 per dollar AS. Adapun total utang Garuda pada kuartal III mencapai  US$10,36 miliar atau sebesar Rp 148,15 triliun.

Baca Juga: Menimbang untung rugi empat opsi penyelamatan Garuda (GIAA), mana pilihan terbaik?

Kewajiban ini terdiri dari liabilitas jangka panjang senilai US$5,65 miliar (Rp 79,51 triliun) dan jangka pendek senilai US$ 4,69 miliar atau Rp 67,07 triliun

Pemerintah Indonesia sejatinya sudah dalam proses memberikan pinjaman ke Garuda lewat obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB) yang diterbitkan Garuda

Garuda akan menerbitkan OWK dengan nilai maksimum Rp 8,5 triliun dengan tenor selama 7 tahun yang wajib dikonversi menjadi saham baru melalui mekanisme PMTHMETD alias private placement

Nantinya dana tersebut akan digunakan untuk memperbaiki posisi keuangan GIAA, pembiayaan operasional, dan membantu keberlangsungan usaha.

Hanya saja, seperti penuturan Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra dalam acara besutan Kompas TV dan Kontan, Business Talk yang tayang di Kompas TV tiap Selasa pukul 20.00 WIB, dari total MCB yang direncanakan Rp 8,5 triliun. “Baru Rp 1 triliun yang terbit, sisanya masih ada masalah administrasi,” ujar Irfan (25/5)

Opsi kedua, yakni dengan menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan dalam merestrukturisasi Garuda Indonesia. 

Dengan pilihan ini, Garuda akan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban seperti utang, sewa dan kontrak kerja.

Dalam opsi ini, bisa digunakan instrumen US Chapter 11 yang merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, maupun yurisdiksi kepailitan negara lain. Selain itu, pemerintah juga akan mempertimbangkan opsi pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Sejumlah maskapai yang menggunakan skema ini adalah LATAM Airlines, Malaysia Airlines, dan Thai Airways International. Namun, catatannya adalah tidak jelas apakah undang-undang kepailitan Indonesia mengizinkan untuk restrukturisasi.

Baca Juga: Garuda Indonesia (GIAA) tawarkan pensiun dini ke karyawan, ini beban berat GIAA

Opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah, seperti debt dan leaser, tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya, seperti culture dan legacy. Contoh kasus yang menjadi rujukan ialah Latam Airlines milik Malaysia.

Yang pasti, maskapai terbesar asal Amerika Latin Latam Airlines Group mengajukan perlindungan kebangkrutan ke pengadilan Amerika Serikat pada tahun 2000. Permohonan tersebut diajukan setelah maskapai terpukul oleh pandemi Covid-19. 

Latam dan afiliasinya mengajukan perlindungan sesuai Bab 11 Undang-Undang Kepailitan AS, atau yang dikenal dengan sebutan Chapter 11. 
Perlindungan Chapter 11 diajukan agar Latam tetap dapat tetap beroperasi sembari melakukan restrukturisasi kredit guna membayar utangnya. 

Kendati demikian, afiliasi Latam di Argentina, Brasil, dan Paraguay tidak termasuk dalam perlindungan Chapter 11 tersebut. Maskapai yang bermarkas di Chili tersebut akan tetap beroperasi dengan jadwal terbatas dan mengajukan pinjaman sebesar 900 juta dollar AS. Dana pinjaman tersebut berhasil terkumpul dari pemegang saham, Amaro familiy dan Qatar Airways.

Latam tercatat memiliki utang sebesar US$ 7 miliar . Untuk mengatasi hal tersebut, Latam menjaminkan aset senilai US$ 21 miliar dan lialibilitas sebesar US$18 miliar untuk mengajukan perlindungan kebangkrutan.

Opsi ketiga, merestrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Untuk opsi ini, Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi.

Pada saat bersamaan, mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi national carrier di pasar domestik.

"Untuk dieksplorasi lebih lanjut sebagai opsi tambahan agar Indonesia tetap memiliki national flag carrier, " tulis dokumen ini. Namun, estimasi modal yang dibutuhkan US$ 1,2 miliar atau sebesar Rp 17, 1 triliun.

Sabena dan Swiss Air bisa menjadi rujukan. Belgian Corporation for Air Navigation Services) atau biasa dikenal dengan Sabena adalah maskapai nasional Belgia.

Baca Juga: 4 Opsi penyelamatan Garuda, ada restrukturisasi hingga mendirikan maskapai baru

Setelah mengalami kebangkrutan, pemerintah membentuk SN Brussels Airlines yang baru dibentuk mengambil alih sebagian dari aset Sabena, yang kemudian menjadi Brussels Airlines, setelah merger dengan Virgin Express pada Maret 2007.

Swissair, maskapai utama Swiss, bangkrut pada tahun 2001. Kreditor-kreditornya, Credit Suisse dan UBS menjual aset-aset Swissair pada Crossair yang melayani penerbangan regional. 

Nama Crossair kemudian diubah menjadi Swiss dan maskapai baru tersebut memulai operasinya pada 31 Maret 2002.

Untuk melayani rute regional Eropa, maskapai ini membentuk anak perusahaan bernama Swiss European Air Lines.

Opsi keempat, Garuda akan dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Dalam opsi ini, pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.

Sebagai rujukan opsi ini adalah Varig Airlines dan Malev Hungarian Airlines. Jika opsi ini dipakai, "Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier," tulis  dokumen PPT Kementerian BUMN itu.

Viação Aérea RIo-Grandense (Varig) lah maskapai  tertua Brasil.  Maskapai ini masuk perlindungan kebangkrutan tahun 2005 dan ditutup setahun kemudian dan dilikuidasi akibat masalah keuangan.

Sementara Malev Hungarian dinyatakan bangkrut di 2012. Pasca bangkrut, sejumlah maskapai swasta menerbangi Hungaria.

Baca Juga: Ini strategi Garuda atas beban utang dan dibalik keputusan tawaran pensiun dini

Dari empat opsi tersebut, mana pilihan pemerintah? Informasi yang didapat KONTAN, sejauh ini pemerintah belum memutuskan opsi pilihan. Pemerintah akan mengajukan opsi tersebut ke parlemen.

Yang jelas, Asosiasi Transportasi Udara Internasional memperingatkan bahwa kerugian di industri penerbangan akan terus terjadi. Bahkan per bulan di 2021, industri diprediksi masih akan menderita hingga US$ 6 miliar (Rp 88 triliun).

Pemulihan ekonomi yang lambat akibat pandemi masih menjadi beban. Asosiasi memprediksi jumlah penumpang baru akan kembali ke level 2019 pada 2024 nanti.

Mayday ! Mayday! Bisnis penerbangan nampaknya masih dalam tren menjunam di tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×