Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan standarisasi kelas jalan di Indonesia sebelum memberlakukan kebijakan penerapan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) atau bebas kendaraan bermuatan lebih yang targetnya bisa terealisasi pada 1 Januari 2023.
Hal ini, kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kalimantan Tengah (Kalteng) Halind Ardi, karena persoalan ODOL biasanya selalu dimulai dari titik muat barang seperti di pelabuhan atau di area industri atau di pusat logistik lainnya.
Sebagai contoh, muatan yang dibawa dari Surabaya dengan menggunakan Roro (kapal), maka di pelabuhan inlet di Kalimantan Tengah harus dibongkar terlebih dulu dan muatan dipindahkan ke truk lokal dengan sesuai ukuran dan kapasitas jalan.
“Ini saja sudah menjadi persoalan besar karena beban biaya angkut yang membengkak. Padahal di tengah pandemi saat ini, untuk membayar upah karyawan saja, sangat sulit,” kata Harlind Ardi, Jumat (20/7).
Baca Juga: Isuzu Indonesia dukung pemerintah perangi ODOL
Karena itu, Harlind Ardi menyarankan, sebelum memberlakukan Zero ODOL, perlu ada kesamaan komitmen antara pemerintah Pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan jembatan terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan yang selama ini menjadi sentra produktivitas.
Standarisasi kelas jalan ini diperlukan agar pelaku usaha bisa mencari solusi tepat dalam penggunaan kategori truk yang digunakan.
Tujuannya agar implementasi Zero ODOL tidak mubazir dan menjadi masalah baru akibat tarif angkutan yang mahal sehingga menurunkan daya saing produk.
Selama ini saja, kata Harlind Ardi, pelaku usaha harus menanggung biaya angkut yang tinggi akibat perbedaan kelas jalan di setiap provinsi.
Hal ini karena kendaraan pengangkut yang dapat melintasi satu kawasan di setiap kelas jalan ditentukan berdasarkan ukuran, dimensi, muatan sumbu terberat, dan permintaan angkutan.
“Sementara itu, kenyataannya kelas jalan di setiap provinsi masih berbeda-beda,” kata Harlind Ardi.
Baca Juga: Berantas truk ODOL, ini jurus baru Kemenhub
Anggota Bidang Kebijakan Gapki Agung Utomo menilai, jika Zero ODOL tetap dipaksakan pada awal 2023, dipastikan hanya kurang dari 50 persen truk yang bisa beroperasi di jalan raya.
Hal ini bisa menghambat operasional truk angkutan minyak sawit dan turunannya. Hambatan itu terutama dalam hal perpanjangan izin keur truk yang tidak bisa diperpanjang lagi, dan itu akan berimbas pada pembatasan operasional di lapangan, mulai dari denda tilang Rp 500 ribu/truk hingga tidak boleh beroperasi.
Menurut Agung Utomo, penerapan zero ODOL pada 2023 berpotensi melumpuhkan angkutan dimana akan terjadi mogok angkutan minyak sawit dan turunannya untuk ekspor maupun domestik.
“Hambatan itu minimum berimbas pada total 48 ribu truk untuk kepentingan ekspor. Akibatnya, ekspor minyak sawit dan turunannya dipastikan akan terganggu, dan itu otomatis juga akan mengganggu pemasukan devisa negara dari sektor sawit ini, ” kata dia.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah untuk menunda pemberlakukan Zero ODOL akibat kondisi dunia usaha saat ini sangat berat akibat pandemi.
Menurut Hariyadi Sukamdani, dalam masa transisi untuk menuju zero odol, pemerintah juga bisa menyiapkan insentif peremajaan dan pembelian truk baru bagi dunia.
Selanjutnya: Ketua Umum Organda: Kami Kecewa dengan Larangan Mudik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News