Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi dilakukannya renegosiasi kontrak pembangkit listrik yang melibatkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) dinilai cukup penting. Apalagi, konsumsi listrik berpotensi turun akibat dampak penyebaran virus corona.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, mayoritas pelanggan listrik PLN saat ini berasal dari sektor industri. Begitu virus corona menyebar, konsumsi listrik dari sektor industri dipastikan turun lantaran ada kebijakan beraktivitas di rumah.
Memang, di saat yang sama konsumsi listrik rumah tangga mengalami peningkatan. Namun, peningkatan tersebut belum bisa mengkompensasi penurunan konsumsi listrik di sektor industri.
Baca Juga: Pengusaha listrik swasta sambut baik opsi renegosiasi pembangkit listrik dengan PLN
Kondisi seperti ini membuat PLN harus menanggung beban kelebihan pasokan listrik yang cukup besar. “Beban PLN makin besar karena di saat yang sama sudah memberikan diskon harga listrik ke beberapa jenis pelanggan,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Senin (6/4).
Makanya, penting bagi PLN untuk melakukan negosiasi ulang kontrak pembangkit listrik dengan pihak IPP yang dilakukan secara business to business (B2B) dengan harapan beban perusahaan pelat merah tersebut bisa berkurang.
Lantaran penurunan konsumsi listrik industri cukup drastis akibat panjangnya masa tanggap darurat Covid-19, PLN dapat melakukan renegosiasi dengan semua jenis IPP, baik yang menggunakan sumber energi fosil maupun energi baru terbarukan (EBT).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, agenda renegosiasi kontrak jual beli tenaga listrik paling mendesak mesti dilakukan oleh PLN terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), khususnya yang berada di Pulau Jawa.
Sebab, PLTU memiliki kontrak dengan sistem take or pay (TOP) dengan capacity factor yang tinggi yakni di atas 85%. Sekadar catatan, capacity factor merupakan perbandingan jumlah produksi listrik dalam periode tertentu terhadap kemampuan produksi sesuai daya mampu.
Jadi, baik PLN dan IPP dapat melakukan renegosiasi terhadap PLTU yang sudah beroperasi maupun yang akan beroperasi. “Saran saya, turunkan capacity factor diturunkan di bawah 65% sehingga PLN bisa mengelola kapasitas pasokan dengan lebih baik,” ungkap dia, hari ini.
Baca Juga: Pabrik tutup, PLN UID Disjaya: Konsumsi listrik turun 5% di Maret
Asal tahu saja, dengan sistem TOP, PLN dapat dikenakan denda jika membeli listrik di bawah ketersediaan pasokan yang telah ditetapkan dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik.
Fabby melanjutkan, dengan mengurangi capacity factor, maka PLN tidak perlu membayar denda kepada IPP jika tidak menyalurkan semua kapasitas pembangkitnya.
Untuk IPP yang sudah beroperasi di atas 20 tahun, maka besaran capacity factor dapat diminta lebih rendah atau sekitar 60%. Ini mengingat IPP tersebut sudah membayar pinjaman dana kepada pemberi pinjaman atau i.
“Sedangkan pembangkit yang baru beroperasi atau masih membayar pinjaman, maka perlu dihitung lagi berapa capacity factor yang bisa diterima IPP juga bagi lender-nya. Mungkin sekitar level 70%,” papar dia.
Sejauh ini, PLN belum bisa berkomentar banyak terkait kemungkinan renegosiasi pembangkit listrik dengan IPP. Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Abumanan bilang, pihaknya masih melakukan kajian mendalam terkait rencana negosiasi ulang tersebut.
“PLN sedang membuat kajian risiko dan mitigasi hal tersebut. Mohon bersabar,” tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News