kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengaturan nuklir masih jadi perdebatan, RUU EBT atau RUU ET?


Jumat, 18 September 2020 / 06:08 WIB
Pengaturan nuklir masih jadi perdebatan, RUU EBT atau RUU ET?
ILUSTRASI. Komisi VII DPR RI mulai membahas secara intensif Rancangan Undang-Undangan Energi Baru dan Terbarukan.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI mulai membahas secara intensif Rancangan Undang-Undangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Perdebatan masih muncul di hal yang paling mendasar, yakni terkait penamaan.

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) tak sepakat beleid ini dinamai sebagai UU EBT. Ketua METI Surya Dharma mengusulkan agar regulasi ini berjudul UU Energi Terbarukan (ET). Ada sejumlah alasan yang dipaparkan Surya, satu di antaranya karena di dunia internasional tidak mengenai energi baru, namun energi terbarukan.

Selain itu, secara regulasi sumber energi yang belum memiliki payung hukum khusus adalah energi terbarukan, kecuali ET jenis panas bumi yang ada UU tersendiri. Sedangkan ET jenis lainnya masih belum dipayungi regulasi yang tegas.

Sehingga, METI berpandangan agar RUU ini fokus mengatur ET. "Selaras dengan upaya untuk mendorong pengembangan ET yang tersendat, dan untuk memberikan kepastian regulasinya," papar Surya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (17/9).

Baca Juga: Karpet merah pengembangan pembangkit nuklir dalam RUU EBT

Saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Surya juga mengatakan bahwa dengan judul RUU ET, maka nuklir secara otomatis tidak diatur dalam beleid tersebut. Melainkan tetap terpisah dan diatur khusus dalam UU ketenaganukliran. "METI inginnya ET saja supaya fokus. Nuklir masuk dalam UU Ketenaganukliran saja yang sudah ada UU-nya," kata Surya.

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI). Dalam forum RDPU, Ketua Umum MKI Wiluyo Kusdwiharto menilai beleid ini tetap cocok dinamai RUU EBT. Alhasil, pengaturan tentang nuklir masih bisa terwadahi. 

Namun MKI mengusulkan bahwa energi nuklir yang dimaksud di sini dibatasi sebagai pembangunan listrik tenaga nuklir untuk maksud damai/sipil. MKI juga berpandangan bahwa pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning pembangkit listrik tenaga nuklir komersial dilaksanakan oleh BUMN, Koperasi, dan/atau badan swasta.

Baca Juga: Semacam pajak carbon, RUU EBT bakal wajibkan badan usaha miliki standar portofolio ET

MKI juga mengusulkan adanya prioritas inovasi EBT, dengan jenis energi baru berupa mineral yang dapat menghasilkan energi dan banyak terdapat di Indonesia, seperti thorium, fuel cell, pengembangan energy storage atau baterai lithium sebagai bagian integral dari program hilirisasi pertambangan.

Sedangkan untuk jenis energi terbarukan adalah bahan bakar nabati (BBN), energi samudera dan solar PV. "Pengembangan EBT seyogianya dijadikan sarana untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi  dan industri dalam negeri dengan meningkatkan TKDN semaksimal mungkin," kata Wiluyo.

Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal MKI Andri Doni berpendapat bahwa Energi Baru dan Terbarukan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dia mengambil contoh, solar PV yang tidak bisa terlepaskan dengan penyimpanan di PV storage. "Nah itu satu paket. Pemerintah juga sudah menamai Direktorat Jenderal-nya EBT," kata Andri.

Adapun, merujuk pada draft RUU EBT yang didapatkan Kontan.co.id, Bab IV mengatur tentang Sumber Energi Baru. Di dalamnya, dominan membahas energi nuklir. Sedangkan jenis sumber energi baru lainnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Rencana akuisisi tambang batubara, PLN masih tunggu pengesahan RUPTL

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai bahwa sebaiknya nuklir tidak dimasukkan dalam rancangan beleid ini, sehingga judulnya hanya RUU ET. Kata dia, hal itu lebih relevan dan fokus untuk mengejar target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025.

"RUU EBT kurang tepat, lebih tepat adalah RUU ET. Yang dimaksud Baru disini hanya PLTN. Padahal nuklir sudah ada UU tersendiri, jadi tidak perlu masuk disini. Kalau kita bicara RUU ET, maka relevan untuk percepatan pengembangan energi terbarukan dalam mencapai target 23% pada 2025 dan mempercepat transisi energi bersih pada 2035-2040," kata Fabby.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya masih akan menampung masukan dari stakeholders lainnya, yakni dengan menggelar sejumlah RDPU lanjutan. Asal tahu saja, saat ini RUU EBT masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019-2024 dan menjadi Prolegnas Prioritas pada 2020 ini.

Komisi VII telah menyusun draft RUU dan ditargetkan sudah final, selesai menjadi RUU EBT pada akhir tahun nanti. Sehingga bisa segera dibahas bersama pemerintah. "Banyak masukan yang sudah ada di dalam draft RUU. Tambahan yang diterima dalam RDPU akan dijadikan bahan kajian. Akhir tahun targetkan akan diajukan ke pemerintah," kata Eddy kepada Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Selanjutnya: METI dan MKI meminta pembentukan badan khusus pengelola energi terbarukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×