kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perbedaan hitungan kadar nikel dalam jual beli bisa diselesaikan lewat pihak ketiga


Selasa, 05 Oktober 2021 / 16:43 WIB
Perbedaan hitungan kadar nikel dalam jual beli bisa diselesaikan lewat pihak ketiga
ILUSTRASI. Nikel. REUTERS/Yusuf Ahmad/File Photo


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbedaan tafsir hitungan kadar nikel oleh surveyor di pelabuhan muat dan surveyor di pelabuhan bongkar dalam transaksi jual-beli bijih nikel menjadi persoalan yang kerap membayangi para pengusaha tambang nikel.  Kehadiran pihak ketiga sebagai wasit dinilai menjadi penting untuk membuat transaksi jual-beli nikel agar lebih adil.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai, perbedaan hasil survey dari 2 lembaga survei yang berbeda sangat mungkin terjadi dikarenakan sejumlah hal. Beberapa faktor di antaranya seperti teknik pengambilan sampel bijih, incremental jumlah sampel yang diambil, teknik preparasi bijih, metode pengukuran, alat pengukuran yang digunakan, serta kalibrasi dari alat yang dipakai. 

Untuk menghindari perbedaan hasil pengukuran yang terlalu besar,  pihak penjual dan pembeli menurut Rizal perlu menyepakati dan memuat ambang batas atau threshold  perbedaan selisih volume dan kadar nikel dalam klausul kontrak. 

Jika threshold ini terlewati, maka kedua belah pihak telah menyepakati mekanisme klarifikasi atau verifikasi oleh pihak ketiga yang independen dan menunjuk pihak ketiga yang disepakati bersama. Selanjutnya, hasil akhir pengukuran oleh pihak ketiga tersebut dijadikan sebagai acuan. Sebaliknya, jika perbedaan hasil pengukuran yang ada sangat kecil dan tidak melewati threshold yang telah disepakati, maka perbedaan tersebut bisa diabaikan.

Baca Juga: Begini harapan pelaku usaha dalam pengembangan hilirisasi batubara

“Jika tidak ada mekanisme tersebut, maka seyogyanya, salah satu pihak tidak bisa mengklaim bahwa hasil pengukuran yang mereka lakukan, sebagai hasil yang paling benar,” kata Rizal kepada Kontan.co.id, Selasa (5/10).

Lebih lanjut, Rizal mengatakan bahwa surveyor independen yang ditunjuk haruslah tenaga surveyor yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi dan diakreditasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan sesuai standar yang telah diakui.

“Dispute tersebut harus ditengahi oleh pemerintah dengan menunjuk surveyor yang independen yang diakui oleh pemerintah untuk melakukan verifikasi atas hasil pengukuran yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Untuk diketahui, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia Tahun Nomor 11 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara (minerba) sudah mengatur soal mekanisme penunjukan pihak dalam transaksi penjualan minerba. 

Pasal 9B beleid ini menyebutkan bahwa penentuan kualitas Mineral Logam mengacu pada hasil pengujian yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu wasit atawa umpire yang disepakati bersama dalam kontrak penjualan dalam hal terdapat perbedaan hasil verifikasi kualitas Mineral Logam antara Pemegang IUP (izin usaha pertambangan) Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK (izin usaha pertambangan khusus) Operasi Produksi Mineral Logam dengan pihak pembeli di dalam negeri.

Pihak ketiga yang ditunjuk harus terdaftar sebagai Surveyor yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama menteri. 

Meski begitu, kalangan pengusaha tambang menilai bahwa mekanisme ini sulit untuk diterapkan. Dalam wawancaranya dengan Kontan.co.id beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, pada praktiknya banyak perusahaan tambang lebih memilih untuk tidak mengajukan mekanisme umpire lantaran takut di-blacklist oleh pihak pabrik smelter dan tidak mendapat permintaan bijih nikel lagi.

Di samping itu, penerbitan hasil verifikasi kadar nikel di terminal bongkar yang cenderung lama juga dinilai membuat mekanisme umpire menjadi sulit untuk diimplementasikan.

Dengan kondisi yang demikian, APNI mengusulkan agar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan oleh perusahaan tambang serta transaksi jual beli bijih nikel dilakukan berdasarkan hasil verifikasi oleh surveyor di terminal muat saja. Dus, transaksi menjadi lebih efisien karena verifikasi hanya dilakukan sebanyak satu kali saja di terminal muat. 

Manfaat lainnya, dwelling time di terminal bongkar juga menurun. Selain itu, tidak ada lagi kasus reject yang merugikan penambang. Arus kas penambang juga bisa menjadi lebih baik.

“Cara ini tidak lazim diterapkan dalam proses bisnis perdagangan internasional. Sangat diperlukan intervensi pemerintah yang cukup besar dalam mengubah proses B2B (business-to-business),” kata Meidy kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.

Kontan.co.id sudah mencoba meminta tanggapan kepada pihak Kementerian ESDM perihal persoalan perbedaan  tafsir hitungan kadar nikel ini. Hanya saja, sejauh ini Kontan.co.id belum mendapat tanggapan dari pihak Kementerian ESDM.

Selanjutnya: Begini kata pengamat dan ekonom soal pembukaan kembali ekspor konsentrat mineral

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×