kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45912,11   2,80   0.31%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Royalti naik, produksi batubara anjlok 60 juta ton


Selasa, 22 April 2014 / 16:03 WIB
Royalti naik, produksi batubara anjlok 60 juta ton
ILUSTRASI. MTDL memproyeksikan penjualan atas Cloud Hypersclarer dari AWS, Google, dan Azure di 2022 mencapai US$ 10 juta


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Pengusaha Tambang Aceh, Rizal Kasli, meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana menaikkan royalti batubara sebesar 13,5% tahun ini.

Pasalnya, hal itu bisa berdampak pada banyaknya perusahaan tambang batubara yang gulung tikar. “Ujung-ujungnya pasti akan terjadi gelombang PHK besar-besaran. Itu yang tidak kami inginkan,” ujar Rizal, Senin (21/4).

Pernyataan ini merupakan sikap Forkom Pengusaha Tambang atas rencana pemerintah melalui Kementerian ESDM yang akan menaikkan royalti batubara menjadi 13,5% pada pertengahan tahun 2014.

Pengusaha berharap, kenaikan royalti untuk perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) ini tidak memberatkan. Pengusaha meminta pemerintah mengevaluasi struktur biayanya, sisi keekonomiannya, kepastian besaran royalti sehingga tercapai win-win solution. “Bagi perusahaan win bagi pemerintah win, pemerintah dalam artian pusat, provinsi dan daerah," katanya.

Menurut Rizal, jika ada perusahaan  yang berhenti beroperasi tentu akan mempengaruhi produksi batu bara nasional yang mana di tahun ini di targetkan sebesar 430 juta ton. Target itu berpotensi terkoreksi 12% menjadi hanya 360 juta ton karena nilai produksi IUP kecil sekitar 50 juta ton hingga 60 juta ton per tahunnya.

“Yang saya tahu, di Indonesia ini perusahaan-perusahaan besar berlisensi PKP2B yang masih mendominasi pertambangan batubara. Nilainya bisa mencapai 300 juta ton, sedangkan sisanya berasal dari perusahaan kecil berlinsensi IUP,” ujar Rizal.

Bagi Rizal, pemerintah seharusnya benar-benar membedakan penerapan royalti antara penambang batubara berkalori tinggi dengan yang berkalori rendah. Alasannya, jika yang berkalori tinggi, harganya bisa naik lebih dari US$ 10 dalam kurun waktu tertentu, kenaikannya sangat linier. Kondisi ini tidak dialami oleh batubara berkalori rendah.

“Kenaikannya hanya US$ 1, itu pun tidak bisa diprediksi. Jadi sangat tidak seimbang,” ujarnya.

Karena itu, Forkom meminta kepada pemerintah agar tidak menaikkan royalti. Sebagai gantinya, pelaku usaha batubara berkalori rendah ini diberikan insentif.  “Lebih baik memberikan insentif berupa royalti lebih rendah kepada pelaku usaha yang menjalakan prinsip good mining practice, ketimbang menaikkan royalti,” ujarnya.

Rizal mengingatkan bahwa biaya produksi untuk menambang batubara itu sama saja antara yang berkalori rendah maupun yang tinggi. Hanya yang membedakan itu karena adanya shipping ratio, lokasi tambang, ketebalan sin, dan kualitas batu bara. “Jika faktor ini menjadi pertimbangan, tentu saja rencana pemerintah yang akan menyamakan royalti IUP dan PKP2B jelas sangat tidak adil,” tuturnya.

Di sisi lain, Rizal juga meminta agar pelaku usaha lokal dilibatkan dengan membuka PLTU dimana spesifikasi batubaranya disesuaikan dengan batubara yang ada di sekitar pabrik, terutama di Aceh yang memiliki batubara berkalori rendah. Dengan demikian, PLTU tidak terlalu bergantung pada batubara impor dan pelaku penambang batubara lokal akan semakin memiliki pasar yang luas. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×