Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menata ulang arah kebijakan energi nasional untuk menyelaraskan visi, strategi, dan implementasi transisi menuju energi bersih dan mewujudkan masa depan Indonesia yang berkelanjutan.
Tahun 2025 ini, menjadi titik balik kebijakan energi Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah menerbitkan tiga dokumen strategis yang menjadi panduan utama arah transisi energi nasional: Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero).
Tiga dokumen tersebut disiapkan serentak pada tahun ini untuk mengawal target bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 72% pada 2060.
Babak Baru Kebijakan Energi di Tanah Air
Pada 15 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Regulasi ini menggantikan KEN 2014 dan menjadi fondasi utama penyusunan kebijakan energi jangka panjang di seluruh sektor.
Salah satu perubahan signifikan adalah penyesuaian target bauran energi baru terbarukan. Target lama sebesar 23% pada 2025 tak tercapai, realisasinya baru 16,1% hingga pertengahan 2025.
Baca Juga: Teken MoU dengan APEX Brasil, Kadin Targetkan Nilai Perdagangan US$ 18 Miliar
Dalam rancangan baru, pemerintah menetapkan arah bertahap yaitu 19–23% pada 2030, 36–40% pada 2040, 53–55% pada 2050, dan 72% pada 2060.
Adapun, sumber EBT yang akan dimaksimalkan meliputi tenaga air, surya, angin, biomassa, panas bumi, biogas, bahan bakar nabati, hingga nuklir—dengan catatan keekonomian proyek tetap terjaga.
Sementara itu, porsi energi fosil mulai dikurangi secara bertahap. Minyak bumi akan ditekan menjadi hanya 3,9–4,7% pada 2060, dan batu bara sekitar 7,8–11,9%, Gas bumi tetap dipertahankan di kisaran 13–15% sebagai energi transisi.
Arah baru ini menjadi pijakan utama dalam penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang kini menata sistem pasokan listrik hingga 35 tahun ke depan.
RUKN: Menatap Listrik 35 Tahun ke Depan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menindaklanjuti arah KEN dengan menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 85.K/TL.01/MEM.L/2025 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060, yang ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 5 Maret 2025.
RUKN menjadi pedoman utama kebijakan kelistrikan nasional, mencakup proyeksi kebutuhan, pasokan, hingga peta pengembangan sistem listrik jangka panjang.
Menurut proyeksi RUKN, kebutuhan listrik nasional akan melonjak dari 539 TWh (1.893 kWh/kapita) pada 2025 menjadi 1.813 TWh (5.038 kWh/kapita) pada 2060. Sektor industri diperkirakan menyumbang 43% dari total konsumsi.
Baca Juga: Indonesia Incar CEPA dengan Brasil, Kadin Beberkan Sektor yang Prospektif
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, daya mampu netto pada 2060 ditargetkan mencapai 443 gigawatt (GW). Dari total itu, 73,6% akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), terdiri dari 24,1% energi baru, 49,5% energi terbarukan, dan 26,4% energi fosil berteknologi penangkap karbon (CCS).
Mulai 2044, porsi pembangkit EBT akan melampaui energi fosil. Pemerintah juga menargetkan emisi karbon nol pada 2059, disertai pembangunan supergrid nasional yang menghubungkan sistem kelistrikan antarpulau dari Sumatera hingga Sulawesi.
Adapun, total kebutuhan investasi kelistrikan hingga 2060 diperkirakan mencapai US$ 1,09 triliun, atau sekitar US$ 30 miliar per tahun.
RUPTL: Peta Jalan Implementasi PLN
Sebagai turunan operasional dari RUKN, pemerintah juga mengesahkan RUPTL PLN 2025–2034 melalui Kepmen ESDM No. 188.K/TL.03/MEM.L/2025, yang diumumkan pada 26 Mei 2025.
RUPTL ini menjadi cetak biru pelaksanaan transisi energi PLN selama satu dekade ke depan, dengan penambahan kapasitas pembangkit 69,5 GW, di mana 61% atau 42,6 GW berasal dari pembangkit EBT, dan 10,3 GW untuk sistem penyimpanan energi (storage).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, bauran EBT diproyeksikan mencapai 34,3% pada 2034. Angka ini lebih tinggi dari target dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060 yang sebesar 29,4%.
Baca Juga: Sumur Minyak Rakyat Diatur Ulang, Target Tingkatkan Lifting dan Kurangi Impor Minyak
"Ini melebihi ekspektasi di RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional)” kata Darmawan dalam acara Diseminasi RUKN dan RUPTL di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Senin (2/6).
Berdasarkan dokumen RUPTL 2025–2034, bauran EBT akan meningkat secara bertahap dari 15,9% pada 2025 menjadi 21% pada 2030. Setelah itu, lonjakan signifikan terjadi mulai 2031, yakni 26,1%, naik menjadi 29% pada 2032, 32,5% pada 2033, dan mencapai 34,3% pada 2034.
Menurut Darmawan, RUPTL baru disusun untuk mendukung percepatan transisi energi, sekaligus menurunkan ketergantungan terhadap batubara.
“Batu lompatannya jelas, peta jalannya jelas, arahnya jelas, dan insyaallah dimudahkan agar ini bisa tercapai,” ucapnya.
Adapun, RUPTL 2025–2034 menetapkan target tambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt (GW). Dari angka tersebut, 61% atau 42,6 GW berasal dari pembangkit EBT. Sementara 10,3 GW (15%) dialokasikan untuk sistem penyimpanan (storage), dan sisanya 16,6 GW (24%) berasal dari energi fosil, yang terdiri atas gas (10,3 GW) dan batubara (6,3 GW).
RUPTL baru ini juga membuka ruang partisipasi swasta untuk membangun pembangkit hijau. PLN berkomitmen memperluas penggunaan co-firing biomassa, dedieselisasi PLTD di daerah terpencil, serta mendorong pembangunan PLTS atap untuk program listrik desa (Lisdes).
Sinkronisasi: Dari Kebijakan ke Implementasi
Penyusunan tiga dokumen ini tidak dilakukan secara terpisah. Kementerian ESDM, DEN, dan PLN bekerja paralel untuk memastikan arah kebijakan, strategi, dan pelaksanaan saling seleras.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Dadan Kusdiana, penyusunan ketiga dokumen tersebut dilakukan secara terpadu.
"Sesuai UU 30 Tahun 2007 tentang Energi, penyusunan RUKN dan RUEN mengacu kepada KEN. Penyusunan PP Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah melibatkan stakeholder terkait seperti Ditjen Ketenagalistrikan (yang menyusun RUKN) dan PLN (yang menyusun RUPTL)," kata Dadan saat dihubungi Kontan, Rabu (22/10).
Dadan menegaskan, KEN menegaskan arah bauran energi primer hingga 2060, RUKN merinci strategi sektor kelistrikan, dan RUPTL memastikan implementasi nyata melalui pembangunan pembangkit.
Baca Juga: ESDM Pertimbangkan Kepatuhan Pajak Jadi Syarat Persetujuan RKAB, Ini Kata Penambang
Dadan menjelaskan, transisi energi hijau tercermin dalam pemanfaatan energi baru terbarukan dalam KEN khususnya bauran energi primer dari 19% - 30% tahun 2030 menjadi 70%-72% tahun 2060. RUKN 2025 memuat strategi transisi energi sektor pembangkitan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi EBT dan konversi pembangkit fosil menjadi EBT.
Kebijakan peningkatan EBT juga terdapat dalam RUPTL PLN tahun 2025-2034 dengan membangun 42,6 GW pembangkit EBT dan membangun storage 10,3 GW yang terdiri dari pumped strorage 4,3 GW dan Battery Energy Storage System (BESS) 6 GW dalam10 tahun ke depan.
Dadan menambahkan, Pemerintah telah memberikan ruang terbuka PLN untuk mengembangkan energi hijau melalui RUPTL. PLN telah melakukan penyesuaian kemampuan investasinya untuk energi hijau.
Baca Juga: Isu Udang Radioaktif Diproyeksi Guncang Ekosistem Perikanan dari Hulu hingga Hilir
"RUPTL PLN 2025-2034 menunjukkan ruang inovasi untuk pemanfaatan energi hijau tidak hanya dilakukan oleh PLN, namun membuka ruang swasta untuk berperan dalam penyediaan energi hijau," tandas Dadan.
Senada, Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya menyebut sinkronisasi ini sebagai tonggak penting transisi energi nasional.
“Semua sudah nyambung dan ada sinkronisasi. KEN dan RUKN diketok bersama DPR, dan sekarang kita masuk ke tahap implementasi,” katanya kepada Kontan, Rabu (22/10).
Tantangan Sinkronisasi: Ekonomi dan Implementasi
Bagi kalangan pengamat, sinkronisasi tiga dokumen ini membuka peluang besar bagi investasi hijau.
Pengamat energi dan Founder ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengingatkan bahwa tantangan terbesar terletak pada aspek keekonomian.
“Masih ada gap antara harga keekonomian EBT dengan tingkat pengembalian investasi yang diinginkan investor. Itu perlu dukungan fiskal dan finansial yang nyata untuk menutup gap tersebut,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (22/10).
Pri Agung juga menyoroti pentingnya security of supply dan rantai pasok bahan baku mineral kritis untuk teknologi EBT yang sebagian besar masih terbatas.
Kritik dan Harapan dari Akademisi
Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Surya Darma menilai, sinkronisasi tiga dokumen strategis ini sebagai langkah ideal di atas kertas.
“Secara perencanaan sudah bagus, tapi implementasi RUPTL harus diawasi agar tidak jadi pintu belakang bagi dominasi energi fosil,” kata Surya kepada Kontan, Selasa (22/10).
ICRES menyoroti peningkatan pembangkitan berbasis gas dalam RUPTL yang masih tinggi. Bila tak dikontrol, kata dia, arah transisi bisa melambat.
Baca Juga: Proyek PLTSa Danantara, Pengamat Ingatkan Jaminan Pasokan Sampah
Sementara itu, Putra Adhiguna dari Energy Shift Institute menilai target dalam ketiga dokumen harus terus dievaluasi agar selaras dengan tren global.
“Indonesia sebentar lagi bisa jadi net importir gas. Jadi, peningkatan rencana kapasitas gas perlu dievaluasi agar tidak mengulang persoalan di sektor migas,” katanya kepada Kontan, Selasa (22/10).
Meski masih menghadapi tantangan keekonomian, investasi, dan infrastruktur, sinkronisasi KEN, RUKN, dan RUPTL menjadi fondasi kuat bagi transisi energi Indonesia. Tiga dokumen ini menunjukkan arah yang jelas: kebijakan (KEN), strategi sektoral (RUKN), dan pelaksanaan operasional (RUPTL). Kini, tantangannya bukan lagi pada arah, melainkan pada kecepatan dan konsistensi pelaksanaan.
Selanjutnya: Abu-abu Green Jobs
Menarik Dibaca: Jari Tangan Kaku dan Sakit Saat Ditekuk? Waspadai Gejala Asam Urat Tinggi ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













