Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
Kepentingan dan regulasi tak sinkron
Sejumlah korporasi mengklaim sudah ambil bagian dalam pengelolaan sampah plastik. Namun daur ulang produk tetap berpotensi mencemari lingkungan. Sementara atuaran main dan regulasi antar kementerian tidak sinkron.
Greenpeace Indonesia menilai komitmen korporasi untuk menjaga kelestarian lingkungan belum cukup. Sebab, aneka produk kemasan plastik daur ulang tetap berakhir sebagai polutan. Menurut mereka, daur ulang tidak menjawab masalah pencemaran lingkungan oleh sampah plastik. Mestinya prioritas utama korporasi adalah mengurangi konsumsi plastik.
Untuk itu Greenpeace mendesak korporasi mulai membatasi produksi dan penggunaan plastik. Terutama, plastik sekali pakai alias single use. "Tanggung jawab ada di korporasi karena mereka juga yang membentuk pola konsumsi konsumen dan lagi pula bukankah kemasan tersebut adalah media marketing mereka," ujar Ahmad Ashov Birry, Global Plastic Campaign Project Leader Greenpeace Indonesia kepada KONTAN, Selasa (6/11).
Tidak cuma Greenpeace yang bersuara. Perhelatan Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali akhir Oktober lalu pun sepakat mengurangi pencemaran lautan dari sampah plastik. Ajang itu menghasilkan 287 komitmen bernilai lebih dari US$ 10 miliar untuk menciptakan 14 juta kilometer persegi (km²) Kawasan Konservasi Laut.
Namun cita-cita mulia untuk menjaga kelestarian bahari bertolak belakang dengan kondisi manufaktur dalam negeri. Kementerian Perindustrian (Kemperin) justru sedang mendorong pengembangan industri petrokimia dalam negeri. Industri petrokimia tersebut pada akhirnya menghasilkan produk turunan untuk bahan baku plastik murni atau virgin plastic.
Kemperin beralasan, permintaan plastik dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Sementara pelaku industri dalam negeri hanya mampu menyuplai sekitar 2 juta ton plastik setahun. Untuk menutup kebutuhan plastik di dalam negeri, Kemperin pun meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar mempertimbangkan impor limbah plastik non B3 dalam bentuk daur ulang.
Berkaca dari Jepang, Achmad Sigit Dwiwahjono, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemperin meyakini, produksi plastik tidak akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Menurutnya, perilaku masyarakatlah yang menyebabkan pencemaran sampah plastik terjadi. "Ya kan, plastik itu tidak untuk dibuang ke laut, kalau lalu dibuang ke laut itu masalah pendidikan masyarakat," kata Sigit, saat ditemui KONTAN.
Asal tahu, Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum pengelolaan sampah melalui Undang-undang 18/2008. Turunan aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah 81/2012 dan Peraturan Presiden 97/2017. Tahun 2025, pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30% dan penanganan sampah hingga 70%.
Dalam sebuah perjumpaan dengan KONTAN, Novrizal Tahar, Direktur Pengeloaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, pemerintah sedang membuat peta jalan pengurangan sampah. Lewat peta jalan tersebut, nanti setiap korporasi berkewajiban melaporkan rencana ke depan untuk mengurangi dan mengelola sampah. Kalau tak meleset, target penyelesaian peta jalan pengurangan sampah rampung tahun ini juga.
Hanya saja patut dicatat, aturan tentang peta jalan pengelolaan sampah tidak memiliki sanksi hukum. "Pemerintah tidak tegas," tandas Ashov.