Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
KONTAN.CO.ID - Akhir Oktober 2018 lalu, sebanyak lima kepala negara, 45 perwakilan pemerintah dan ribuan delagasi dari puluhan negara berkumpul di Nusa, Bali dalam acara Our Ocean Conference (OOC) 2018. Topik sirkular ekonomi sampah pun mencuat. Ini adalah kampanye untuk menjadikan sampah bernilai jual kembali. Salah satunya sampah plastik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, total sampah padat tahun 2016 di Indonesia mencapai 65,99 juta ton. Sampah plastik berkontribusi 16%. Jadi kalau dihitung, volume sampah plastik dua tahun lalu sekitar 10,56 juta ton.
Prediksi KLHK, volume sampah padat tahun 2018 bakal menjadi 67,86 juta ton. Dengan asumsi persentase tadi tetap, volume sampah plastik tahun ini menjadi 10,86 juta ton. Volume sampah plastik itu hampir sepertiga dari proyeksi produksi beras tahun 2018 yang sebanyak 32,42 juta ton.
Menurut catatan Eco Bali, harga botol plastik bening atau polyethylene therepthalate (PET) dalam kondisi kotor senilai Rp 1.000 per kilogram (kg). Taruh kata, jumlah sampah botol tersebut separuh dari total sampah plastik, nilai jual sampah botol PET bening tahun ini mencapai Rp 5,43 triliun!
Hanya saja, belum semua masyarakat Indonesia melihat nilai ekonomi dalam sampah plastik. Jual-beli sampah masih berputar di kalangan pemulung dan komunitas.
Ningsih misalnya, seorang pemulung di Desa Tohpati, Denpasar, Bali, adalah satu dari segelintir orang yang sudah membisniskan sampah plastik. Saban hari, suami Ningsih memulung 10 kg-20 kg sampah aneka botol plastik. “Tapi saat memulung, kami sering takut dimarahi orang karena dianggap mengganggu,“ cerita perempuan asal Bondowoso, Jawa Timur tersebut, akhir Oktober 2018 lalu.
Selama ini, para pemulung hanya mengambil sampah plastik yang laku dijual. Padahal pengumpulan sampah plastik tersebut menjadi salah satu faktor untuk membentuk pasar.
Alhasil sampah plastik seperti kantong plastik atau plastik kresek, tidak tersentuh. “Ongkos koleksi dan pembersihan lebih mahal daripada harga jualnya,“ terang Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, saat ditemui KONTAN di Bali.
Saban tahun, paling tidak ada sekitar 9,85 miliar pieces plastik kresek dari 90.000 gerai ritel modern yang berakhir menjadi polutan. Adapun plastik kresek hanya satu dari banyak jenis plastik single-use atau sekali pakai.
Dalam kesempatan terpisah, Ahmad Ashov Birry, Global Plastic Campaign Project Leader Greenpeace Indonesia menjelaskan kepada KONTAN, hasil laporan A Crisis of Convenience: The corporations behind the plastics pollution pandemic menyebutkan ada 11 perusahaan FMCG besar yang banyak memproduksi plastik sekali pakai. Mereka adalah Coca-Cola Company, Colgate-Palmolive, Danone, Johnson & Johnson, Kraft Heinz, Mars, Nestlé, Mondelez, PepsiCo, Procter & Gamble serta Unilever.
Daur ulang hingga inovasi produk
Triliunan rupiah berpotensi didapatkan dari sampah plastik. Namun itu tidak mudah karena sistem pengumpulan sampah di Indonesia hanya mengandalkan sektor informal. Alih-alih menghasilkan duit, sampah justru lebih banyak membawa petaka bagi kelestarian lingkungan. Korporasi pun dituding sebagai biang kerok maraknya sampah plastik. Benarkah selama ini mereka abai?
Organisasi konservasi laut global Oceana, mencatat setidaknya ada 17,6 miliar pon sampah plastik memasuki lautan setiap tahun. Hal itu terjadi karena korporasi terus-menerus menggunakan kemasan plastik. Kalau terus dibiarkan, tahun 2025 nanti jumlah sampah plastik di laut bakal melebihi jumlah ikan yang ada di dalamnya.
Sejumlah korporasi besar pun angkat bicara. Mereka tak terima dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Danone AQUA mengatakan, material plastik sudah ada sejak sekitar tahun 1900 dan mulai banyak digunkan pada era Perang Dunia II. Sementara 100 tahun yang lalu belum timbul masalah pencemaran lingkungan. "Jadi bukan di kaminya karena kami sekarang justru reinvent, rethink dan redesign," kilah dia, saat ditemui akhir Oktober lalu.
Adapun Danone AQUA atau yang berbadan usaha PT Tirta Investama, mengklaim sudah memulai kampanye peduli lingkungan sejak tahun 1993. Kalau itu mereka mengusung jargon AQUA Peduli.
Sementara tahun ini, Danone AQUA mulai merencanakan sejumlah investasi dan inovasi produk baru. Belum lama ini, perusahaan yang menginduk pada Danone di Prancis tersebut mengucurkan dana investasi multi tahun senilai US$ 5,25 juta untuk membangun infrastruktur dan sistem pengumpulan sampah.
Lalu awal tahun 2019 Danone AQUA bersiap melakukan groundbreaking atau penanaman tiang pancang pembangunan pabrik daur ulang sampah plastik di Pasuruhan Jawa Timur dengan nilai investasi lebih dari US$ 20 juta. Pabrik berkapasitas sekitar 30.000 ton per tahun tersebut adalah kongsi dengan Veolia, perusahaan pengolah sampah dari Prancis. Target operasionalnya mulai tahun 2020.
Lewat pabrik baru di Pasuruhan, Danone AQUA menargetkan bisa memproduksi lebih banyak botol dengan bahan baku plastik daur ulang. Perusahaan tersebut sudah menjajal produksi botol minuman 1,1 liter berbahan baku 100% daur ulang recycled polyethylene therepthalate (rPET). Desember 2018 ini mereka siap merilis secara komersial produk itu dalam skala kecil di Bali.
Selain investasi tadi, Danone AQUA telah mengembangkan enam recycled business unit (RBU) atau pusat daur ulang yang tersebar di Bali, Lombok, Bandung dan Tangerang (Banten). Total kapasitas produksinya mencapai 12.000 ton plastik daur ulang per tahun.
Namun Danone AQUA mengaku penciptaan produk daur ulang bukan perkara mudah. Teknologi yang lebih canggih menuntut ongkos produksi lebih mahal. Harga produk AQUA 100% rPET tadi contohnya, kurang lebih 25% lebih mahal ketimbang produk AQUA reguler.
Tantangan lain adalah ketersediaan bahan baku daur ulang yang masih terbatas dan upaya untuk meyakinkan konsumen. "Hasil riset kami, mayoritas konsumen Indonesia masih mempersepsi produk dengan kemasan daur ulang plastik itu sebagai produk yang kotor dan mestinya berharga murah," terang Karyanto.
Korporasi lain, yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk juga sudah memanfaatkan produk yang ramah terhadap lingkungan. Sejak lima tahun belakangan, perusahaan berkode saham INDF di Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut menggunakan karung tepung Bogasari berbahan biodegradable atau gampang terurai dalam dua tahun.
Indofood juga menghadapi tantangan serupa dengan Danone AQUA dari sisi harga kemasan yang menjadi lebih mahal ketimbang kemasan reguler. Manajemen perusahaan menggambarkan, harga karung tepung Bogasari biodegradable lebih mahal seharga sepuntung rokok ketimbang karung tepung reguler.
Tantangan lain dari sisi regulasi. Indofood merasa, sejauh ini pemerintah tidak punya arah yang jelas mengenai kebijakan sampah plastik yang mesti diterapkan pelaku industri. Bahkan, mayoritas pelaku industri belum menerapkan kebijakan tersebut. "Sementara karung kami sudah biodegradable, karung tepung lain, pupuk, pakan ternak banyak yang belum, termasuk yang punya BUMN," kata Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk sekaligus Chief Executive Officer PT Bogasari Flour Mills saat dihubungi KONTAN.
Asal tahu, selain mengembangkan inovasi produk sendiri, Indofood yang tergabung dalam aliansi bernama Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE) juga mengembangkan agenda bersama untuk mengatasi penggunaan plastik. PRAISE beranggotakan Indofood, PT Coca Cola Indonesia, PT Nestle Indonesia, PT Tetra Pak Indonesia, Danone AQUA dan Yayasan Unilever Indonesia.
Kepentingan dan regulasi tak sinkron
Sejumlah korporasi mengklaim sudah ambil bagian dalam pengelolaan sampah plastik. Namun daur ulang produk tetap berpotensi mencemari lingkungan. Sementara atuaran main dan regulasi antar kementerian tidak sinkron.
Greenpeace Indonesia menilai komitmen korporasi untuk menjaga kelestarian lingkungan belum cukup. Sebab, aneka produk kemasan plastik daur ulang tetap berakhir sebagai polutan. Menurut mereka, daur ulang tidak menjawab masalah pencemaran lingkungan oleh sampah plastik. Mestinya prioritas utama korporasi adalah mengurangi konsumsi plastik.
Untuk itu Greenpeace mendesak korporasi mulai membatasi produksi dan penggunaan plastik. Terutama, plastik sekali pakai alias single use. "Tanggung jawab ada di korporasi karena mereka juga yang membentuk pola konsumsi konsumen dan lagi pula bukankah kemasan tersebut adalah media marketing mereka," ujar Ahmad Ashov Birry, Global Plastic Campaign Project Leader Greenpeace Indonesia kepada KONTAN, Selasa (6/11).
Tidak cuma Greenpeace yang bersuara. Perhelatan Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali akhir Oktober lalu pun sepakat mengurangi pencemaran lautan dari sampah plastik. Ajang itu menghasilkan 287 komitmen bernilai lebih dari US$ 10 miliar untuk menciptakan 14 juta kilometer persegi (km²) Kawasan Konservasi Laut.
Namun cita-cita mulia untuk menjaga kelestarian bahari bertolak belakang dengan kondisi manufaktur dalam negeri. Kementerian Perindustrian (Kemperin) justru sedang mendorong pengembangan industri petrokimia dalam negeri. Industri petrokimia tersebut pada akhirnya menghasilkan produk turunan untuk bahan baku plastik murni atau virgin plastic.
Kemperin beralasan, permintaan plastik dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Sementara pelaku industri dalam negeri hanya mampu menyuplai sekitar 2 juta ton plastik setahun. Untuk menutup kebutuhan plastik di dalam negeri, Kemperin pun meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar mempertimbangkan impor limbah plastik non B3 dalam bentuk daur ulang.
Berkaca dari Jepang, Achmad Sigit Dwiwahjono, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemperin meyakini, produksi plastik tidak akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Menurutnya, perilaku masyarakatlah yang menyebabkan pencemaran sampah plastik terjadi. "Ya kan, plastik itu tidak untuk dibuang ke laut, kalau lalu dibuang ke laut itu masalah pendidikan masyarakat," kata Sigit, saat ditemui KONTAN.
Asal tahu, Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum pengelolaan sampah melalui Undang-undang 18/2008. Turunan aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah 81/2012 dan Peraturan Presiden 97/2017. Tahun 2025, pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30% dan penanganan sampah hingga 70%.
Dalam sebuah perjumpaan dengan KONTAN, Novrizal Tahar, Direktur Pengeloaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, pemerintah sedang membuat peta jalan pengurangan sampah. Lewat peta jalan tersebut, nanti setiap korporasi berkewajiban melaporkan rencana ke depan untuk mengurangi dan mengelola sampah. Kalau tak meleset, target penyelesaian peta jalan pengurangan sampah rampung tahun ini juga.
Hanya saja patut dicatat, aturan tentang peta jalan pengelolaan sampah tidak memiliki sanksi hukum. "Pemerintah tidak tegas," tandas Ashov.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News