Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peningkatan porsi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) untuk menggantikan produksi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) berpotensi dapat menurunkan kebutuhan devisa impor minyak dan gas (migas).
Dalam riset terbaru lembaga riset independen untuk bidang ekonomi energi dan pertambangan, ReforMiner Institute, saat ini kapasitas terpasang PLTD mencapai 3.426 megawatt (MW). Dengan asumsi harga minyak mentah US$ 70 per barel, substitusi seluruh PLTD dengan PLTP berpotensi dapat menghemat devisa impor migas sekitar US$ 6,53 miliar per tahun.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, substitusi tenaga listrik dari PLTG dengan pembangkit panas bumi berpotensi meningkatkan efisiensi biaya penyediaan bahan bakar untuk pembangkit.
"Kapasitas terpasang PLTG saat ini adalah 2.798,65 MW. Dengan asumsi harga gas US$ 8 per MMBTU, substitusi ini berpotensi dapat menekan biaya penyediaan untuk bahan bakar hingga US$ 1,04 miliar per tahun," ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dalam riset yang diterima Kontan, Rabu (6/8/2025).
Baca Juga: Lewat Danantara, PLN IP dan PGEO Tandatangani Perjanjian Konsorsium PLTP
Komaidi menambahkan selama periode 2019–2024, total dana bagi hasil (DBH) panas bumi yang disalurkan ke daerah mencapai sekitar Rp 10,82 triliun.
Dana tersebut khususnya terdistribusi di wilayah kerja (WK) panas bumi utama. Seperti Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba (PLTP Sarulla), Kabupaten Garut (PLTP Darajat dan Kamojang), Kabupaten Bandung dan Bandung Barat (PLTP Wayang Windu dan Patuha), Kabupaten Bogor (PLTP Salak), serta Kabupaten Tanggamus (PLTP Ulubelu).
"Industri panas bumi berperan penting bagi daerah penghasil, tidak hanya sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga melalui kontribusinya dalam menciptakan multiplier effect terhadap aktivitas ekonomi setempat," kata Koamidi.
Meski begitu, perkembangan industri panas bumi di Indonesia dapat dikatakan relatif lambat. Setelah diusahakan secara komersial sejak 42 tahun yang lalu, kapasitas terpasang listrik panas bumi saat ini baru sebesar 2.638 MW atau rata-rata 62,82 MW per tahun.
"Jumlah badan usaha yang terlibat dalam pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi juga relatif terbatas yaitu baru sekitar 8 badan usaha," ungkapnya.
Sebagai tambahan, dalam 10 tahun terakhir terdapat percepatan dalam penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi. Yakni, dari sebesar 1.347 MW pada 2015 menjadi 2.638 pada 2024. Selama kurun waktu tersebut, rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi adalah 129 MW per tahun.
Baca Juga: Pertamina Geothermal Energy (PGEO) Optimasi PLTP Ulubelu, Simak Pandangan Analis
Selanjutnya: Pendapatan Jasa Marga (JSMR) Terkoreksi Tipis, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: Hingga Juli, Railink Catat 4 Juta Penumpang Naik KA Bandara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News