kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   3.000   0,20%
  • USD/IDR 16.070   -65,00   -0,41%
  • IDX 7.158   -100,90   -1,39%
  • KOMPAS100 1.073   -23,02   -2,10%
  • LQ45 842   -19,41   -2,25%
  • ISSI 218   -3,19   -1,44%
  • IDX30 430   -10,60   -2,41%
  • IDXHIDIV20 518   -12,61   -2,38%
  • IDX80 122   -2,72   -2,18%
  • IDXV30 127   -3,54   -2,71%
  • IDXQ30 143   -3,34   -2,28%

Swasebada Energi Tak Bisa Andalkan Migas, Sektor EBT Bisa Jadi Pilihan


Selasa, 17 Desember 2024 / 19:17 WIB
Swasebada Energi Tak Bisa Andalkan Migas, Sektor EBT Bisa Jadi Pilihan
ILUSTRASI. Petugas melakukan perawatan panel surya atap di gedung kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Rabu (12/6). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/12/06/2024. Swasembada energi hadapkan pada tantangan berat, terutama karena produksi minyak dalam negeri saat ini masih jauh dari angka konsumsi harian.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto menegaskan ambisinya untuk mencapai swasembada energi dengan menghentikan impor minyak. Namun, upaya ini dihadapkan pada tantangan berat, terutama karena produksi minyak dalam negeri saat ini masih jauh dari angka konsumsi harian. Target swasebada energi Indonesia ke depan bisa mengandalkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kebutuhan minyak domestik mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari (bph). Namun, produksi minyak nasional hanya 500.000-600.000 bph, sehingga selisih yang cukup signifikan masih dipenuhi melalui impor.

“Kita harus memastikan bahwa impor dilakukan secara hati-hati, sembari mengoptimalkan potensi dalam negeri,” ujar Bahlil dalam kunjungannya ke RDMP Balikpapan, Sabtu (14/12).

Dus, berdasarkan data Kementerian Keuangan, neraca perdagangan migas selama Januari - Oktober 2024 mencatat defisit sekitar US$ 17,39 miliar. Sementara itu, defisit bulan Oktober 2024 saja mencapai US$ 2,32 miliar dengan ekspor senilai US$ 1,35 miliar dan impor sebesar US$ 3,67 miliar.

Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan dan Energi, Menhut Optimalkan Perhutanan Sosial

Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan pajak dari sektor migas mengalami penurunan. Per 30 September 2024, Pajak Penghasilan (PPh) Migas membukukan realisasi Rp 48,81 triliun, 63,91 persen dari target.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menekankan bahwa ambisi swasembada tidak mudah dicapai hanya mengandalkan energi fosil seperti migas.

Produksi migas terus menurun akibat rendahnya eksplorasi dan menipisnya cadangan. Untuk itu, substitusi impor harus difokuskan pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT), seperti biodiesel dan etanol.

Namun, menurut Fahmy, hambatan utama adalah keterbatasan teknologi di dalam negeri.

Fahmy menyarankan langkah strategis, di antaranya fokus pengembangan EBT dengan memanfaatkan sumber daya nasional, mengundang investor asing dengan teknologi EBT, hingga berkolaborasi dengan universitas dan lembaga riset untuk membangun teknologi produksi EBT.

“Target swasembada energi Prabowo dalam 4-5 tahun bisa dicapai jika pemerintah berkomitmen penuh pada pengembangan EBT,” kata Fahmy kepada Kontan, Selasa (17/12).

Senada, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan bahwa utama terletak di hulu migas. Rata-rata produksi minyak dan gas nasional selama 2013 - 2023 mengalami penurunan masing-masing sebesar 3,06% dan 1,87% per tahun. Cadangan minyak dan gas nasional pun menyusut hingga 5,34% dan 7,49% per tahun.

“Sekitar 70% lapangan migas di Indonesia saat ini sudah masuk kategori mature field yang mengalami penurunan produksi alami,” kata Pri Agung kepada Kontan, Selasa (17/12).

Akibatnya, neraca perdagangan migas Indonesia pun terus dalam kondisi defisit selama satu dekade terakhir. Defisit ini mencapai rata-rata US$ 12,07 miliar per tahun dan memberi tekanan tambahan pada neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengungkapkan, swasembada energi bisa diwujudkan jika Indonesia mulai beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

“Ketergantungan pada energi fosil seperti minyak bumi dan LPG harus dikurangi. Dengan mengoptimalkan potensi EBT, swasembada energi mungkin tercapai dalam 10-15 tahun ke depan,” ujar Eddy kepada Kontan, Selasa (17/12).

Eddy menambahkan, pemerintah saat ini juga mengalokasikan impor LPG mencapai 8,2 juta kiloliter di tahun 2025, menunjukkan ketergantungan yang belum sepenuhnya ditekan. Langkah konkrit percepatan EBT perlu dilakukan agar target swasembada energi dapat tercapai.

Lebih lanjut, ambisi Prabowo ini tentu baik, tetapi di tengah realitas penurunan produksi migas, defisit perdagangan migas, serta ketergantungan pada impor, keberhasilan akan sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menggali potensi energi baru terbarukan dan membangun teknologi penunjang di dalam negeri. Tanpa langkah cepat dan strategis, swasembada energi hanya akan menjadi impian semata.

Baca Juga: BPH Migas: Pemanfaatan Biodiesel Hemat Devisa Negara Rp 120 Triliun pada 2023

Selanjutnya: Implementasi EUDR Ditunda, Dasbor Nasional Menuai Polemik

Menarik Dibaca: Yogyakarta Hujan Ringan Mulai Sore, Pantau Prakiraan Cuaca Besok di DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×