kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.469   31,00   0,20%
  • IDX 7.732   -3,27   -0,04%
  • KOMPAS100 1.202   0,01   0,00%
  • LQ45 959   0,18   0,02%
  • ISSI 233   -0,27   -0,11%
  • IDX30 493   0,20   0,04%
  • IDXHIDIV20 592   0,94   0,16%
  • IDX80 137   0,00   0,00%
  • IDXV30 143   0,17   0,12%
  • IDXQ30 164   0,08   0,05%

Target Tidak Tercapai, Seberapa Layak Kebijakan Harga Gas Murah Dilanjutkan?


Rabu, 21 Februari 2024 / 20:41 WIB
Target Tidak Tercapai, Seberapa Layak Kebijakan Harga Gas Murah Dilanjutkan?
ILUSTRASI. Penampungan gas. ANTARA FOTO/Indrayadi TH/hp.


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi.

Sebab kebijakan yang sudah dijalankan sejak pandemi Covid-19 ini dinilai membebani keuangan negara dan berpotensi menurunkan minat investasi di hulu migas.

Apalagi sektor industri tertentu penerima manfaat harga gas subsidi ini juga gagal meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian.

Baca Juga: Rencana Perluasan Sektor Industri Penerima Manfaat Harga Gas Perlu Dievaluasi

”HGBT sifatnya kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut,” ungkap Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin dalam keterangannya, Rabu (21/2).

Sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni US$6 per MMBTU.

Eddy menjelaskan bahwa diperlukan riset untuk mengetahui dampak kebijakan HGBT tersebut. Hal ini penting untuk menjadi landasan apakah program tersebut diteruskan atau layak dihentikan.

Baca Juga: Industri Minta Kebijakan Harga Gas Khusus Dilanjutkan

“Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain,” imbuhnya.

Lembaga Kajian Energy Reforminer Institute memperkirakan, negara telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas hingga sekitar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020 ini.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sampai tahun 2022 pelaksanaan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun.

Baca Juga: Kementerian ESDM Beberkan Tantangan Perluasan Harga Gas Khusus Industri

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi.

Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.

“Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau 12,93 triliun tahun 2022,” kata Tutuka tahun lalu.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan, faktor lain yang penting menjadi pertimbangan adalah keseimbangan di industri migas.

Sebab meski di satu sisi program HGBT menjadi berkah bagi sektor industri penerima, di sisi lain pada saat yang sama kebijakan ini menekan industri hulu migas (upstream), industri tengah migas (midstream), dan downstream (hilir) migas sebagai penyalur.

Baca Juga: Kementerian ESDM Tegaskan Harga Gas Khusus Industri Tetap US$ 6 per MMBTU

Terlebih saat ini perekonomian Indonesia sudah terlepas dari potensi resesi akibat krisis pandemi yang sudah berlalu itu.

“Untuk kondisi saat ini yang sudah berlangsung normal dan pertumbuhan ekonomi relatif terjaga, serta tidak ada tujuan tujuan khusus akibat darurat pandemi, maka sudah saatnya kebijakan HGBT tersebut dikaji ulang dan diselaraskan dengan program transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan,” ungkapnya, baru-baru ini.

Apalagi, lanjut Ali, keberlanjutan bisnis migas dari hulu hingga hilir mesti dijaga keseimbangannya supaya rantai pasok berjalan baik.

“Bagi sektor di atasnya (upstream dan midstream) itu jangka panjang akan menimbulkan masalah besar karena harga tidak sesuai mekanisme pasar,” tegasnya.

Ditambah lagi fakta bahwa serapan gas HGBT tidak mencapai 100 persen dari total alokasi sebagaimana disampaikan Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi.

Baca Juga: Kebijakan Harga Gas Industri Tak Maksimal

Adapun total alokasi volume yang disediakan pemerintah tertuang dalam Kepmen ESDM No 91 tahun 2023.

Total alokasi volume gas untuk HGBT di 2023 yakni 2.541 billion british thermal unit per day (BBTUD). Namun, realisasi penyerapan sementara hanya 1.883 BBTUD atau setara 74 persen.

"Realisasi serapan volume gas HGBT 2023 sebesar 74 persen dari volume alokasi Kepmen, data masih unaudited. Untuk keseluruhan industri pengguna seperti listrik, pupuk. Detailnya belum bisa disampaikan karena masih direkonsiliasi," terangnya.

Kurnia juga menyoroti bahwa tertekannya hulu migas karena HGBT perlu mendapat perhatian serius.

Meskipun pada prinsipnya SKK Migas konsisten mendukung HGBT agar dapat memberikan nilai tambah dan produktivitas industri dalam negeri sehingga mampu kompetitif sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.

"Hal tersebut dilakukan dengan tetap menjaga keekonomian hulu migas sehingga tetap menimbulkan daya tarik investasi hulu migas yang juga sangat penting," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK

[X]
×