Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Inalum (Persero) atau yang sekarang biasa disebut MIND ID telah menerbitkan obligasi global senilai US$ 4 miliar untuk mengakuisisi mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) pada akhir 2018 lalu. Dengan tingkat produksi dan harga komoditas saat ini, holding tambang BUMN itu yakin bisa melunasi utang tersebut lebih cepat dari perkiraan awal.
CEO MIND ID Orias Petrus Moedak mengatakan, pada November 2018, MIND ID menerbitkan obligasi global senilai US$ 4 miliar. Dari dana itu, sebesar US$ 3,85 miliar digunakan untuk akuisisi PTFI sehingga kepemilikan MIND ID menjadi 51,2% saham. Sisanya, sebesar US$ 150 juta digunakan untuk pembayaran biaya transaksi serta kontribusi belanja modal (capex) pengembangan tambang bawah tanah PTFI untuk tahun 2019 dan awal 2020.
Obligasi yang terdaftar di Singapore Exchange Securities ini memiliki empat masa jatuh tempo dengan tingkat kupon rata-rata sebesar 5,99%. Pertama, US$ 1 miliar dengan tenor hingga 2021. Kedua, US$ 1,25 miliar dengan tenor 2023. Ketiga, US$ 1 miliar dengan tenor 2028. Keempat, US$ 750 juta dengan tenor 2048.
Orias bilang, obligasi ini dipilih lantaran untuk pembiayaan jangka panjang dinilai lebih stabil dibandingkan dengan sindikasi perbankan yang bunganya berfluktuasi. Apalagi, tenor obligasi bisa lebih panjang daripada pinjaman perbankan.
Baca Juga: Freeport terbuka untuk bekerjasama dalam membangun smelter tembaga
Selain itu, dia memastikan bahwa obligasi ini bersifat clean, dalam arti tidak ada aset maupun saham yang dijaminkan. "Tidak ada aset atau saham yang digadaikan baik itu saham Inalum maupun anak perusahaan, termasuk saham PTFI. Jadi obligasi ini dilakukan tanpa jaminan," terang Orias dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI yang digelar Senin (7/12).
Dia meyakinkan, proyeksi keuangan dan dividen yang akan datang dari PTFI bisa membayar obligasi tersebut. Asumsi saat itu, PTFI mencatatkan laba bersih sekitar US$ 2 miliar pada 2018. Kala itu, MIND ID mendapatkan dividen sebesar US$ 180 juta.
Laba yang diraih PTFI memang diproyeksikan anjlok pada tahun 2019 dan 2020 menjadi US$ 166 juta dan US$ 366 juta. Merosotnya laba PTFI tak lepas dari transisi penambangan dari open pit ke tambang bawah tanah yang mempengaruhi tingkat produksi.
"Sesuai kesepakatan dan fakta di PTFI bahwa 2019 dan 2020 labanya menurun sangat drastis karena transisi dari open pit ke underground. Sehingga disepakati tidak ada dividen dalam 2 tahun ini," sebut Orias.
Baca Juga: Kementerian ESDM pastikan target produksi batubara di 2021 sebesar 550 juta ton
Pada tahun 2021, laba bersih PTFI diproyeksikan kembali naik ke angka US$ 870 juta lalu naik lagi menjadi US$ 1,5 miliar pada 2022. Saat itu, MIND ID ditaksir akan meraup dividen sebesar US$ 200 juta di 2021 dan US$ 500 juta pada 2022.
Mulai 2023 dan seterusnya, laba bersih PTFI ditaksir kembali stabil di level US$ 2 miliar. "Kami mengasumsikan bahwa porsi dividen yang akan diterima MIND ID kurang lebih US$ 1 miliar setiap tahun," ungkap Orias.
Dengan proyeksi tersebut, dia yakin pembayaran obligasi bisa tertutupi pada tahun 2025 atau 2026. "Itu payback dari US$ 4 miliar bisa selesai. Dengan US$ 1 miliar setiap tahunnya (dividen) maka 2025 atau awal 2026 sebenarnya US$ 4 miliar bisa tertutupi," sambung Orias.
Namun dengan tingkat harga komoditas saat ini, Orias optimistis tingkat pengembalian tersebut bisa lebih cepat dari perkiraan awal. Dia mengamini, pada 2019 PTFI memang merugi dengan tingkat produksi yang menurun di masa transisi.
Baca Juga: Freeport dan MIND ID bicara soal kemitraan dengan Tsingshan bangun smelter tembaga
Beruntung, pada tahun ini, harga komoditas utama PTFI yakni emas dan tembaga justru berada pada tren yang positif pada masa pandemi covid-19 sehingga, lebih tinggi dari harga asumsi PTFI dan MIND ID saat membuat proyeksi pada 2018 lalu. Selain itu, dari tingkat produksi, juga lebih stabil lantaran masa open pit sudah berakhir dan pada tahun ini penambangan dilakukan secara underground.
"Kondisi 2019 memang lebih buruk, tapi 2020 sangat membaik. Angka ini kami harapkan bisa lebih baik dengan harga tembaga dan emas yang jauh lebih baik daripada prediksi kami sebelumnya," jelas Orias.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menyampaikan bahwa proyeksi keuangan memang berdasarkan pada sensitivitas harga komoditas yang diasumsikan saat itu. Sebelum transaksi divestasi saham PTFI kepada Inalum pada Desember 2018, asumsi harga tembaga adalah US$ 2,75 per pound dan asumi harga emas sebesar US$ 1.250 per ounce.
Saat ini, harga tembaga di atas US$ 3 dollar per pound dan emas sekitar US$ 1.850 per ounce. Ditambah lagi, secara operasional penambangan PTFI sesuai rencana. Bahkan pada tahun depan PTFI yakin bisa memproduksi bijih lebih banyak daripada yang direncanakan.
Baca Juga: Undang Pelanggan Alumunium, INALUM Optimis Pertahankan Produksi di Tengah Pandemi
Pada tahun ini, laba bersih PTFi ditaksir bisa di atas US$ 700 juta. "Tentu saja apabila harga naik, dengan tingkat produksi yang sesuai jadwal, pendapatan akan lebih tinggi," jelas Tony.
Melihat hal tersebut, Orias optimistis masa pelunasan obligasi bisa lebih cepat satu tahun dari yang sudah direncanakan, menjadi tahun 2024 atau 2025. "Dengan kondisi seperti itu, tadi kami perkirakan 2025 atau 2026, mungkin bisa dipercepat menjadi 2024 atau awal 2025 untuk payback period-nya," ujar Orias.
Sebagai bagian dari strategi keuangan, MIND ID juga sudah mencicil obligasi yang akan jatuh tempo pada 2021 dan 2023. Orias membeberkan, setelah menerbitkan obligasi US$ 4 miliar pada November 2018 untuk mengakuisisi PTFI, MIND ID juga telah menerbitkan obligasi kedua di tahun ini, sebesar US$ 2,5 miliar.
Dari dana US$ 2,5 miliar tersebut, sebanyak US$ 1,1 miliar digunakan untuk membayar balik sebagian obligasi yang jatuh tempo di 2021 dan 2023. Dengan begitu, jatuh tempo obligasi yang semula US$ 1 miliar pada 2021 kini tersisa US$ 500 juta. Sedangkan untuk tenor 2023 yang tadinya US$ 1,25 miliar kini tersisa sekitar US$ 500 juta.
Baca Juga: Soal smelter tembaga Freeport dan Amman Mineral, begini kata IMA dan AP3I
"Jadi beban yang akan jatuh tempo di 2021 dan 2023 sebagian telah kami bayar untuk meringankan tekanan segera membayar dalam jumlah besar. Jadi tekanan jangka pendek bisa dihindari," jelas Orias.
Adapun sisa dana dari penerbitan obligasi kedua tersebut juga digunakan untuk membiayai akuisisi saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Akuisisi 20% plus 1 lembar saham INCO oleh MIND ID itu rampung pada 7 Oktober 2020 dengan nilai sebesar US$ 372 juta atau Rp 5,52 triliun.
Baca Juga: Freeport Indonesia Pastikan Tetap Laksanakan Proyek Smelter di Gresik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News