Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) mendesak pemerintah untuk kembali menerapkan tarif ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Pasalnya penundaan penerapan tarif ekspor CPO hingga Desember 2019 ini membuat pengembangan industri hilir kelapa sawit dalam negeri tersendat karena kekurangan bahan baku.
Baca Juga: Pengusaha oleokimia optimistis kinerja ekspor tahun depan tetap melambung
Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat mengatakan, saat ini margin industri hilir kelapa sawit, khususnya industri oleokimia sudah negatif. Kapasitas terpakai oleokimia sudah turun 20% menjadi tinggal sekitar 60% dari total kapasitas terpasang sekitar 12 juta ton per tahun.
"Padahal sebelumnya terpakai itu mencapai 80%, tapi karena ada kekurangan bahan baku menjadi turun," ujarnya, usai menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema Spektrum Penggunaan Produk oleokimia di Industri Strategis, Selasa (19/11).
Ia menjelaskan, sekitar 90% bahan baku industri oleochemical berasal dari Crude Palm Kernel Oil (CPKO) dan turunnya, sementara sisanya sekitar 10% berasal dari CPO. Nah saat ini, industri oleokimia kesulitan mendapatkan bahan baku CPKO karena banyak diekspor.
"Jadi ada perebutan bahan baku," ujarnya.
Baca Juga: Industri oleokimia yakin nilai dan volume ekspor naik cukup tinggi di tahun ini
Selain kesulitan mendapatkan bahan baku, dari sisi harga juga naik karena kebutuhan meningkat sementara bahan baku kurang.
Rapolo melanjutkan, Apolin telah mengirim surat resmi kepada pemerintah untuk mempertimbangkan menerapkan kembali pungutan ekspor minyak sawit mentah.
Apolin mengingatkan pemerintah pentingnya mengembangkan sektor hilir. Apalagi saat ini investasi di sektor oleokimia juga meningkat.
Apolin mencatat pada 2017 nilai investasi yang masuk di sektor oleokimia Rp 4,77 triliun dan tahun 2018 kembali masuk lagi sebesar Rp 1,14 triliun dan tahun 2019 ini ada 0,8 triliun untuk perluasan kapasitas produksi.
Baca Juga: Bila tak memperkuat hubungan bilateral, Indonesia bisa kehilangan pasar India
Kemudian jumlah perusahaan yang bergerak di sektor oleokimia juga bertambah. Pada tahun 2016 ada 17 perusahaan, kini pada 2019 sudah menjadi 21 perusahaan. "Jadi kami meminta pemerintah untuk menjaga investasi yang sudah masuk ini," ujarnya.
Meskipun industri oleokimia mengalami penurunan produksi, tapi Apolin masih optimistis ekspor oleokimia tahun ini tetap tumbuh. Sebab selama ini, industri masih mengandalkan pasar ekspor.
Baca Juga: GAPKI sarankan perkuat hubungan bilateral dengan India
Apolin mencatat realisasi ekspor oleokimia pada kuartal III mencapai 2,3 juta ton dengan nilai ekspor US$ 1,4 miliar. Bila dibandingkan volume ekspor di periode sama 2018 volume itu naik 2 juta ton, tapi nilainya turun US$ 0,4 miliar.
"Itu terjadi karena penurunan harga komoditas di pasar global," jelas Rapolo.
Sampai akhir tahun, Rapolo optimistis Apolin memproyeksikan total ekspor oleokimia mencapai 3 juta ton atau naik dari tahun 2018 yang 2,7 juta ton. Demikian juga dari sisi nilai diharapkan naik tipis menjadi US$ 1,9 miliar dari tahun lalu yang sebesar US$ 1,8 miliar.
Baca Juga: Ekspor CPO Indonesia ke Asia, Timur Tengah dan AS surut
Guru Besar IPB Erliza Hambali mengatakan, prospek pengembangan industri hilir sawit seperti surfaktan sangat menjanjikan. Harga jual lebih tinggi ketimbang minyak sawit.
Dia nenyebutkan, surfaktan dapat menjadi bahan peledak bom, industri pertambangan minyak bumi, semen, emulsi fayer, industri pertanian dan ban.
"Semua industri membutuhkan tambahan surfaktan. Produk hilir sawit ini lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, " tuturnya.
Baca Juga: Harga CPO September terendah sejak awal 2016, tapi ekspor turun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News