kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bos Pertamina dan Medco ungkap hambatan pengembangan EBT saat ini


Rabu, 14 Juli 2021 / 19:54 WIB
Bos Pertamina dan Medco ungkap hambatan pengembangan EBT saat ini
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia diakui masih menemui sejumlah hambatan. PT Pertamina tercatat bakal mengalokasikan sekitar US$ 8 miliar untuk pengembangan energi bersih pada kurun 2020 hingga 2024 mendatang.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, salah satu fokus pengembangan EBT ke depan yakni melalui panas bumi. Pertamina pun menargetkan pada 2026 nanti kapasitas Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) yang dioperasikan mencapai 1.128 Mega Watt (MW).

Nicke mengungkapkan dalam dua hingga tiga tahun terakhir, pengembangan panas bumi diakui cukup lamban. Faktor keekonomian dinilai masih menjadi soal. "Perlu ada terobosan direvisi Perpres yang akan segera diluncurkan agar potensi bisa kita kembangkan," kata Nicke dalam Gelaran Investor Daily Summit 2021, Rabu (14/7).

Baca Juga: PLN pertimbangkan tiga faktor ini dalam pengembangan energi terbarukan

Nicke menambahkan, ekosistem panas bumi dapat mencontoh industri migas yang menerapkan skema kontrak bagi hasil cost recovery. Hal ini dinilai bakal menarik minat investor. Nantinya, ketika pengembangan panas bumi semakin besar maka harga listrik dapat turun dengan sendirinya.

Selain itu, Pertamina berniat masuk ke bisnis hidrogen.  Nicke mengungkapkan, pengembangan hidrogen saat ini telah dimulai Pertamina melalui aset Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu. 

Hidrogen yang dihasilkan pun digunakan untuk memproses biofuel pada kilang milik Pertamina. Secara khusus untuk hidrogen, Nicke menyebutkan konsumsi harian pada tahun ini mencapai 2,5 ribu ton per hari. Adapun, besaran marketnya mencapai US$ 40 miliar. 

Akan tetapi, Nicke menilai perlu ada kebijakan khusus demi mendorong pemanfaatan hidrogen. "Kebijakan khususnya untuk bisa masuk keekonomian, seperti relaksasi dimasalah fiskal dan perizinan yang harus disederhanakan," kata Nicke.

Baca Juga: Pensiunkan PLTU batubara jadi strategi PLN capai carbon neutral di 2060

Sementara itu, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) Hilmi Panigoro mengungkapkan pengembangan EBT di Indonesia sejatinya bertambah. Namun pertambahan ini tak sebanding dengan pertumbuhan sektor non-EBT.

Menurutnya, dengan kondisi ini maka perlu ada akselerasi. Apalagi, investasi sektor EBT dinilai membutuhkan jumlah yang besar. "Kalau mau akselerasi saya bilang kita perlu kasih karpet merah. Investasi besar bukan cuma sedikit, kita bicara di atas Rp 100 triliun mungkin," kata Hilmi dalam kesempatan yang sama.

Hilmi melanjutkan, perlu ada kesadaran bahwa investasi sektor energi termasuk EBT merupakan investasi yang jangka panjang. Untuk itu, perlu ada kepastian hukum.

Salah satu yang dinilai paling dinantikan pelaku usaha EBT yakni hadirnya Undang-Undang EBT yang kini masih disusun. Kendati demikian, hadirnya UU EBT nantinya juga harus dibarengi perangkat hukum dan pelaksanaan yang mudah dimengerti.

Hal lain yang dinilai patut jadi perhatian yakni kemudahan dalam melaksanakan bisnis. Hilmi menjelaskan, perizinan dan proses dalam pelaksanaan proyek EBT melibatkan banyak kementerian hingga pemerintah daerah. Dengan kondisi ini, dirinya berharap sektor EBTKE dapat memiliki lembaga khusus seperti SKK Migas untuk memudahkan proses perizinan sektor EBT.

"Ketiga, keekonomian Investasi itu perlu return. Return ini pada akhirnya bagaimana struktur tarif (listrik) disusun," kata Hilmi.

Hilmi mengungkapkan, berbeda dengan energi fosil, sektor EBT memiliki sumber energi yang gratis. Untuk itu, dengan investasi yang tergolong besar di awal maka tak ada salahnya penetapan tarif listrik menyesuaikan besaran investasi. Nantinya, dalam beberapa tahun setelah terpenuhi keekonomian maka tarif dapat kembali ke level yang lebih rendah. "Pada jangka panjang akan didapatkan harga energi yang rata-rata murah," imbuh Hilmi.

Selanjutnya: Medco Energi (MEDC) targetkan pengurangan emisi karbon bisa lebih cepat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×