Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Masuknya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara ke pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dinilai tak serta-merta menjamin keberhasilan proyek.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah menggodok revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Melalui revisi tersebut, nantinya seluruh proyek PLTSa bakal diarahkan ke Danantara. Namun, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai kehadiran Danantara tak menyelesaikan permasalahan utama yang dihadapi PLTSa.
Memang kontribusi Danantara tetap berpotensi memberi dampak positif, terutama sebagai akselerator proyek. Namun, dengan banyaknya prioritas investasi Danantara di berbagai sektor, menurut Putra lembaga tersebut tidak bakal menjadi pemain tunggal.
Baca Juga: Danantara Bidik 33 Proyek Strategis, Salah Satunya Listrik Sampah
Prediksinya, Danantara bakal menggandeng pihak lain. “Saya rasa akan tetap ada pihak-pihak dari luar yang bekerja sama dengan Danantara. Mereka bukan pengelola sampah, melainkan jembatan bagi proyek agar bisa berjalan,” jelas Putra kepada Kontan, Kamis (4/9/2025).
Di samping itu, Putra menilai ada persoalan yang lebih krusial, yakni kejelasan komitmen pemerintah dalam menjamin pembelian listrik hasil PLTSa. Pasalnya, harga listrik dari PLTSa ditaksir bisa mencapai 13–20 sen per kWh, atau 2–3 kali lipat lebih tinggi dibanding harga listrik standar PLN yang hanya sekitar 7 sen.
Masalahnya, kondisi keuangan PLN saat ini pun sudah berat, ditambah perusahaan pelat merah itu tidak membutuhkan tambahan listrik di tengah kondisi oversupply saat ini. Jika dipaksa membeli, pada akhirnya perlu ada kompensasi dari pemerintah.
Namun, skema kompensasi pemerintah ke PLN selama ini pun kerap molor pencairannya. Jika beban kompensasi ditambah dengan proyek PLTSa, beban fiskal bisa kian berat.
“Kalau tidak ada kejelasan jaminan, investor pasti akan berhati-hati. Jangan sampai proyek hanya jadi penugasan ke PLN tanpa solusi nyata,” kata Putra.
Esensi PLTSa
Di luar persoalan PLN, Putra menyebut pada dasarnya PLTSa merupakan proyek pengelolaan sampah, bukan penghasil listrik. Sayangnya, tak pernah ada langkah konkret dari pemerintah daerah maupun pusat dalam hal pengelolaan sampah, sehingga PLTSa diambil menjadi solusi.
Pun selama belasan tahun, proyek PLTSa sulit berjalan karena pemerintah daerah tidak memiliki cukup dana untuk membayar biaya pengelolaan sampah, termasuk tipping fee dan ongkos pengumpulan.
“Ini yang membuat selalu terjadi lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah. Tidak ada yang mau menanggung biaya sampah,” ungkapnya.
Baca Juga: Rosan: Prajogo Pangestu dan Grup Djarum Berminat Beli Patriot Bond Danantara
Terkait itu, skema pengelolaan sampah lain yang tak perlu melibatkan PLN dapat menjadi pertimbangan. Pasalnya, pengelolaan sampah dan pengadaan listrik saat ini merupakan dua masalah yang sebaiknya diselesaikan secara terpisah..
Putra menilai secara keseluruhan prospek PLTSa di Indonesia banyak bergantung pada stabilitas kebijakan pemerintah. Selama belum ada kejelasan mengenai siapa yang menanggung biaya dan bagaimana kompensasi berjalan, investor bakal cenderung ragu.
“Beberapa proyek mungkin bisa berjalan, tapi keberlanjutan jangka panjangnya sangat tergantung pada kepastian kebijakan. Itu yang jadi kunci,” ujar Putra.
Selanjutnya: Tensi Sosial Politik Dalam Negeri Memanas, Sekuritas Asing Masih Optimistis
Menarik Dibaca: Promo A&W Weekend Deals 5-7 September, Beli Paket Ayam Gratis 2 Menu Spesial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News