kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

IKATSI mendesak pemerintah membenahi birokrasi pro impor produk tekstil


Kamis, 08 April 2021 / 13:35 WIB
IKATSI mendesak pemerintah membenahi birokrasi pro impor produk tekstil
ILUSTRASI. Tekstil. KONTAN/Baihaki/07/04/2021


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menyoal kegeraman Presiden Jokowi atas serbuan produk impor di banyak sektor perdagangan barang, Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) menilai bahwa perlu dilakukan pembenahan birokrasi di beberapa kementerian terkait perekonomian.

IKATSI menilai pengaruh pola pikir sebagian birokrasi yang pro impor menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor manufaktur termasuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).

Direktur Eksekutif IKATSI, Riza Muhidin menyoroti kasus safeguard garment, di mana hasil penyelidikan Komite Perlindungan Pasar Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan selama hampir satu tahun dan merekomendasikan pengenaan safeguard terhadap 134 HS (7 segment) pakaian jadi selama 3 tahun justru berusaha dipereteli oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP).

“Dari informasi yang kami dapat, BPPP meminta agar 75 nomor HS hanya dikenakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) sebesar 5%,” ungkap Riza dalam siaran pers yang diterima Kontan, Kamis (8/4).

IKATSI menilai, usulan BPPP sangat tidak masuk akal karena jika dihitung harga pakaian impor yang dijual sekitar Rp 30.000, berarti besaran BMTP-nya hanya Rp 1.500 per potong. Riza menilai usulan ini mempermainkan hasil penyidikan KPPI yang merekomendasikan BMTP rata-rata Rp.100.000 per potong.

Baca Juga: Pelaku industri kimia, farmasi, dan tekstil Indonesia bersiap terapkan industri 4.0

“Disini kita bisa menilai bagaimana BPPP Kemendag sangat melindungi barang impor agar bisa tetap membanjiri pasar dalam negeri, padahal penyidikan KPPI membuktikan adanya injury yang diderita oleh produsen pakaian jadi nasional atas banjirnya barang impor selama bertahun-tahun,” terang dia.

Analisis yang dilakukan IKATSI memperlihatkan bahwa jika 130.000 ton garmen yang selama ini diimpor bisa disubstitusi oleh produk dalam negeri, maka perekonomian negara akan mendapat manfaat yang sangat besar. Sebab, dampaknya bukan hanya untuk industri garmen itu sendiri, melainkan juga untuk produsen di sektor mid-stream dan di up-stream.

“Kita bisa lihat bahwa safeguard tidak hanya menghemat US$ 850 juta devisa, tetapi juga mendorong kegiatan produksi sebesar Rp 22,6 trilyun atau US$ 1,5 miliar. Belum lagi setoran BPJS tenaga kerja yang diambil dari gaji tenaga kerja yang memproduksi barang substitusi itu,” ujar Riza.

IKATSI berharap agar BPPP Kemendag dan BAPENAS segera menyetujui implementasi BMTP ini menyusul Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang sudah lebih dulu menyetujuinya.

Riza menekankan agar Presiden Jokowi segera bertindak membenahi para birokrat dan pejabat yang tidak satu visi membangun negeri melalui kegiatan ekonomi dalam negeri, khususnya di sektor manufaktur. “Birokrasi dan pejabat yang beda visi dengan Presiden ini akan membuat kita selamanya ketergantungan dengan produk impor dan terus menggerogoti devisa,” katanya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menanggapi bahwa safeguard pakaian jadi sangat penting bagi seluruh rantai nilai sektor TPT hingga petrokimia nasional.

“Bahan baku pakaian jadi yang diproduksi oleh Industri Kecil Menegah (IKM) adalah kain dari industri tenun dan rajut, kemudian, benang, serat, asam thereptalat (PTA) hingga paraxylene (PX) yang diproduksi oleh Pertamina. Jadi, ini menyangkut nasib seluruh rantai nilai yang melibatkan lebih dari 5 juta tenaga kerja langsung dan ribuan perusahaan berskala kecil, menengah, hingga besar,” terang dia.

Redma pun menyoal kajian internal BAPENAS yang menolak pengenaan safeguard yang dianggapnya terlalu dangkal dan membandingkannya dengan hasil kajian IKATSI. Kajian BAPENAS hanya menghitung dampak inflasi bagi konsumen jika dikenakan BMTP pakaian jadi tanpa menghitung dampak dari kegiatan produksi di dalam negeri.

“Kajian dampak pemberlakuan safeguard yang dilakukan IKATSI tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan bisa membayar dampak inflasinya,” jelas Redma.

Bahkan, menurutnya kajian IKATSI belum memperhitungkan setoran PPH badan, pembayaran listrik, penggunaan logistik, hingga dampak ekonomi lainnya yang terjadi jika 130.000 ton garmen itu diproduksi di dalam negeri dan belum lagi menghitung dampaknya ke sektor petrokimia sebagai bahan baku serat.

Redma pun menyoal kesimpulan BAPENAS bahwa pengenaan BMTP akan menurunkan kinerja ekspor adalah hal yang mengada-ada dan menunjukkan bahwa BAPENAS tidak memahami struktur bisnis industri TPT.

Dia berpendapat, 85% produsen ekspor berada di Kawasan Berikat yang tidak terkait aturan safeguard di mana 15% di antaranya menggunakan fasilitas KITE. Adapun produsen brand internasional disebut telah ditunjuk oleh Buying Agent yang berbasis di Hongkong atau Singapura serta tidak ada hubungannya dengan importir pemegang lisensi distribusi di dalam negeri.

“Ini kan lagi lagu lama. Setiap kita ajukan kebijakan yang pro produsen dalam negeri selalu ditakut-takuti dengan inflasi dan ekspor yang turun, tapi kalo ada usulan fasiliitasi impor, cepat sekali diimplementasikan,” pungkas Redma.

Selanjutnya: Prospek Saham Manufaktur Terdongkrak Optimisme Pemulihan Ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×