Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Packaging Federation (IPF) menilai prospek industri kemasan pada sisa 2025 masih cukup positif meski pertumbuhannya tidak terlalu tinggi.
Direktur Eksekutif IPF Henky Wibawa memperkirakan industri kemasan tetap tumbuh 2–3% dari tahun lalu, yakni dari Rp114 triliun pada 2024 menjadi sekitar Rp118 triliun pada 2025.
Menurut Henky, faktor utama yang memengaruhi industri kemasan bukan lagi tekanan ekonomi global, melainkan perubahan gaya hidup konsumen, terutama generasi muda yang kini mendominasi sekitar 60% populasi.
"Gaya hidup anak muda menginginkan sesuatu yang ringkas, cepat, dan selalu baru. Mereka tidak loyal terhadap satu merek tertentu, sehingga pasar ritel yang berkembang justru e-commerce, minimarket, dan warung tradisional. Sementara supermarket besar dan mal perlahan meredup,” jelasnya kepada Kontan, Minggu (14/9).
Baca Juga: Ada Tekanan di Pasar Domestik, Kinerja Selamat Sempurna (SMSM) Masih Ditopang Ekspor
Perubahan pola konsumsi itu ikut menggeser lanskap industri FMCG (fast moving consumer goods). Produsen besar mengalami penurunan omzet, sementara UKM justru tumbuh pesat. Kondisi ini mendorong industri kemasan untuk beradaptasi dengan investasi teknologi baru dan ekosistem distribusi yang lebih efisien.
Ia mencontohkan, terbaru adalah perusahaan kemasan aseptic untuk susu segar, jus minuman segar dan lain-lain, boleh saya sebut namanya LAMIPAK dari pusatnya di China di Cikande-Banten mulai beroperasi dan yang pertama PABRIK KEMASAN sejenis di Indonesia.
Sebelumnya, Tetrapak, perusahaan kemasan aseptic dunia yang berasal dari Swedia, tapi selama 20 tahun lebih hanya memasok dari luar, awalnya dari Singapore dan sekarang dari Vietnam, namun tidak pernah berinvestasi di Indonesia.
"Maka perusahaan seperti LAMIPAK ini harus didukung oleh pemerintah, agar bertumbuh dan bahkan juga melakukan export kemasannya. Begitu juga saya membaca perusahaan kemasan asal Malaysia Thong Guan yang telah menyatakan investasi di kawasan industry Batang, dekat Semarang," jelasnya.
Henky menambahkan, tren perbaikan indeks manufaktur juga memberi angin segar bagi bisnis kemasan. Beberapa investasi baru masuk ke Indonesia, seperti pabrik kemasan aseptik Lamipak asal China yang beroperasi di Cikande, Banten.
“Ini pabrik kemasan aseptik pertama di Indonesia. Sebelumnya pemain global seperti Tetrapak hanya memasok dari luar negeri, tanpa berinvestasi langsung di sini. Dukungan pemerintah terhadap investasi semacam ini akan memperkuat daya saing industri kemasan nasional,” ujarnya.
Untuk menjaga daya saing, pelaku usaha dituntut melakukan efisiensi, memanfaatkan teknologi digital, dan memperkuat jaringan ke daerah. IPF mendorong pengembangan Packaging Center di berbagai wilayah di luar Jawa sebagai strategi memperluas pasar domestik. Sentra ini berfungsi menyediakan mesin pengemasan sekaligus jasa maklon bagi perusahaan besar maupun UKM.
Sementara terkait isu keberlanjutan, Henky menekankan perlunya pendekatan realistis. Menurutnya, wacana green packaging di Indonesia sering terjebak dalam praktik greenwashing karena sistem pengelolaan sampah nasional belum tertata baik.
"Kami di IPF tetap berkomitmen agar kemasan didesain menyeluruh: fungsional, efisien, layak untuk produk makanan dan minuman, cepat dalam proses, dan sesuai standar SDG,” pungkasnya.
Baca Juga: Dorong Keberlanjutan Bisnis, Medela Potentia (MDLA) Berkomitmen Perkuat Tata Kelola
Selanjutnya: Target Tax Ratio Prabowo 16% Bisa Tercapai, DEN Ungkap Resepnya
Menarik Dibaca: Ini 10 Provinsi dengan UMR Terendah di Indonesia & Strategi Pintar Mengatur Gaji
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News