Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bersiap melakukan impor komoditas minyak dan gas (migas) dalam bentuk Crude Oil dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS) sebagai tindak lanjut dari perjanjian tarif resiprokal, usai Indonesia mendapatkan tarif sebesar 19%.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya tengah merampungkan nota kesepahaman atau MoU terkait impor dari negara Paman Sam tersebut.
Adapun, MoU ditarget selesai pada akhir tahun ini, dan komoditas migas ditarget dapat dikirim usai MoU ditandatangani.
"Kita sedang menunggu perjanjian tarif resiprokal dengan Amerika agar bisa diselesaikan mungkin sampai dengan akhir tahun ini. Tentu kalau sudah, perjanjian tarif itu sudah disepakati, MoU itu (akan dijabarkan) turunan dari kesepakatan tarif dengan AS,” ungkap Airlangga.
Baca Juga: Perlu Disederhanakan, Kontraktor Usaha Hulu Migas Masih Wajib Penuhi 140 Perizinan
Adapun, terkait impor tersebut, Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) menyebut bahwa impor LPG diprediksi meningkat tahun depan. Bukan hanya karena konsumsi dalam negeri, namun juga karena berkembangnya industri petrokimia di dalam negeri yang menggunakan LPG sebagai bahan baku.
"Kalau untuk industri pasti ada kenaikan (impor LPG). Kapasitas produksi LPG dalam negeri kita tidak akan mencukupi, di awal juga (sebelum tarif resiprokal) memang 80% sudah impor, 50% juga awalnya sudah dari AS," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal kepada Kontan, Selasa (25/11/2025).
Sebagai gambaran, sebelum adanya tarif resiprokal, Indonesia memang telah mengimpor mayoritas LPG untuk konsumsi di dalam negeri.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, sepanjang tahun 2024 misalnya, Indonesia telah mengimpor 6,89 juta ton LPG dengan nilai US$ 2,03 miliar, setara dengan Rp 32,22 triliun.
Sedangkan dari total impor ini, 3,94 juta ton LPG berasal dari AS atau 57% LPG Indonesia berasal dari AS.
Sementara itu, sepanjang 2024 impor Crude Oil dari AS hanya sekitar 668,47 juta kg atau 4% dari total impor minyak mentah Indonesia.
"Kemungkinan (meningkat), apalagi ini juga soal masalah tarif kan. Dan sudah dijadwalkan juga oleh Pak Menteri Menko Perekonomian, pasti akan prioritaskan dari Amerika," jelas Moshe.
Baca Juga: Airlangga Ungkap Potensi Swasta Bisa Impor Migas dari AS
Industri Petrokimia Berkembang Bersama dengan Potensi Impor LPG
Sebelumnya, peningkatan konsumsi LPG juga telah diakui oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Usai meresmikan proyek hilirisasi minyak dan gas bumi (migas) baru, yaitu Pabrik New Ethylene Project milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, Kamis (6/11/2025) lalu, Bahlil bilang akan ada peningkatan konsumsi LPG hingga 1,2 juta ton per tahun.
"Maka konsumsi kita nanti ke depan di 2026 itu sudah mencapai hampir 10 juta ton LPG," ungkap Bahlil di Istana Merdeka beberapa waktu lalu.
Adapun, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2025, target awal konsumsi (kuota penyaluran) LPG 3 kg bersubsidi ditetapkan sebesar 8,17 juta metrik ton (MT).
Namun, berdasarkan perkembangan dan proyeksi kebutuhan, pemerintah memproyeksikan adanya penambahan kuota sekitar 370.000 ton, sehingga total kebutuhan (prognosa konsumsi) untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar 8,5 juta metrik ton.
Dengan adanya kebutuhan LPG untuk pabrik petrokimia terbaru, Bahlil memproyeksikan peningkatan konsumsi LPG di Indonesia akan tembus 10 juta ton per tahun.
Senada, praktisi senior industri migas sekaligus Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo mengatakan produksi LPG dalam negeri hanya sekitar 1,8 juta–2 juta ton per tahun, sedangkan sisanya harus dipenuhi melalui impor.
Baca Juga: Kementerian ESDM Mengklaim Investasi Hulu Migas RI Tetap Menarik, Ini Buktinya
"Produksi dalam negeri baik dari hulu maupun hilir kisaran 2 juta ton, dengan masuknya Petrokimia Lotte, maka impor LPG dipastikan akan semakin besar," kata dia.
Meski begitu, Ismoyo mengatakan Indonesia harus memperhitungkan besar biaya logistik jika dibandingkan melakukan impor LPG dari Timur Tengah atau Singapura.
"LPG tetap harus teknologinya, harus ada temporary storage sebelum didistribusi ke terminal dan agen LPG," ungkap dia.
Asal tahu saja, komoditas energi sejauh ini masuk dalam komoditas utama impor Indonesia dari AS sebagai balasan atas turunnya tarif resiprokal, dari yang sebelumnya 32% menjadi 19%, dengan nilai impor hampir US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 243 triliun.
Selanjutnya: Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi untuk Mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi
Menarik Dibaca: Promo Indomaret Beli 1 Gratis 1 dan Beli 2 Gratis 1, Berlaku sampai 26 November 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













