Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Hingga ujung tahun 2014 ini, Pemerintah Indonesia tampaknya tak mampu memaksa tujuh perusahaan pemegang kontrak karya (KK) mengubah isi perjanjian. Salah satu ganjalan renegosiasi ialah kenaikan tarif royalti.
Edi Prasodjo, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan, dari total 34 perusahaan, sebanyak 27 perusahaan bersedia mengubah isi kontrak sesuai dengan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Salah satunya: PT Vale Indonesia yang telah meneken amandemen kontrak pada Oktober 2014 silam. "Terakhir, penandatanganan MoU kami lakukan bersama PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN)," kata Edi kepada KONTAN, Rabu (23/12).
Adapun tujuh perusahaan masih enggan menandatangani memorandum of understanding (MoU) amandemen kontrak. Mereka adalah: PT Agincourt Resources, PT Indo Muro Kencana, PT Pasific Masao Mineral, dan PT Nusa Halmahera Minerals. Serta PT Galuh Cempaka, PT Kumamba Mining, dan PT Paragon Perdana Mining.
Poin renegosiasi antara pemerintah dan pengusaha sejatinya sesuai aturan yang berlaku, antara lain: kewajiban peningkatan nilai tambah lewat pembangunan smelter, pemangkasan lahan, perubahan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan (IUP), kenaikan royalti untuk penerimaan negara, divestasi saham, serta penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Menurut Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, poin renegosiasi yang paling sulit adalah kenaikan royalti untuk peningkatan penerimaan negara. "Mereka tidak mau tarif royaltinya naik, karena perusahaan juga ternyata membayar iuran kepada pemerintah daerah, Kalau royalti naik bisa dobel royaltinya," ujar dia.
Meski hingga sekarang ini pembahasan renegosiasi dengan tujuh perusahaan masih alot, pemerintah mengaku masih tetap berupaya meminta perusahaan tambang agar segera meneken MoU amandemen kontrak.
Sukhyar bilang, pihaknya bahkan juga siap berdialog dengan Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk membahas penyelesaian renegosiasi dengan ketujuh perusahaan.
Linda Siahaan, Vice President Director Agincourt Resources sebelumnya mengakui, tarif royalti yang dibayarkan perusahaannya ke pemerintah memang masih di bawah ketentuan PP Nomor 9/2012.
Namun, pembayaran yang dilakukan Agincout sesuai dengan isi Kontrak Karya yang jadi pegangan perusahaan. Ia menyebut, Agincourt akan menghitung ulang keekonomian kegiatan tambang apabila tarif royalti ditingkatkan jadi 3,75%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News