Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Pada bulan September hingga November 2018, parameter ekonomi makro rata-rata per tiga bulan menunjukan perubahan. Nilai tukar rupiah tercatatĀ Rp14.914,82 per dollar Amerika Serikat (AS), nilai Indonesian Crude Price (ICP) menjadi US$ 71,81/Barrel, dan tingkat inflasi rata-rata 0,12%.
Berdasarkan perubahan parameter tersebut, seharusnya penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment) mengalami kenaikan jika dibandingkan yang berlaku sebelumnya. Namun, Pemerintah mempertahankan agar tarif listrik tidak naik.
Mengenai keputusan untuk tidak menaikkan tarif pada tahun 2019 ini, Andy mengklaim bahwa ini murni tanpa muatan politik di tahun politis. "Nggak ada politis, siapa pun pemerintah pasti akan menyenangkan rakyatnya, untuk menjaga daya beli, competitiveness negara," katanya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah mada Fahmy Radhi pun memberikan penilaian yang sama. Menurutnya, keputusan untuk menjaga tarif listrik dengan maksud menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri ini cukup beralasan, sehingga menjadi keputusan yang rasional untuk diambil pemerintah.
"Kalau pun ada (sisi politis), saya kira itu kecil, siapa pun kan mengambil kebijakan ini. Saya melihatnya lebih pada pertimbangan makro ekonomi terkait daya beli dan inflasi," kata Fahmy.
Ia menilai, meski PLN pasti akan terbebani, namun ada empat variable yang bisa meringankan beban tersebut. Yakni terkait DMO batubara, harga minyak dunia yang turun, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dan juga penbambahan pelanggan PLN seiring dengan perluasan elektrifikasi. "Memang memberatkan PLN, tapi beban yang berat itu akan terkurangi," imbuh Fahmy.