Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia akan memberikan tenggat waktu dua tahun bagi perusahaan makanan dan minuman untuk menyesuaikan diri dengan aturan pelabelan baru pada produk tinggi gula, garam, dan lemak.
Kebijakan ini menjadi langkah lanjutan upaya menekan laju obesitas yang kian meningkat di tanah air.
Melansir laporan Reuters pada Rabu (27/8/2025), data Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi obesitas di Indonesia telah berlipat ganda dalam satu dekade terakhir hingga 2023.
Baca Juga: Ini Alasan Label Gizi Penting dalam Memilih Makanan Sehat
Badan Anak PBB (UNICEF) juga memperingatkan bahwa satu dari tiga orang dewasa dan satu dari lima anak usia sekolah berisiko mengalami obesitas.
Namun, penerapan aturan ini tertunda akibat adanya lobi dari Amerika Serikat (AS), asosiasi industri pangan regional Food Industry Asia, serta produsen dalam negeri.
Mereka mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar meninjau ulang pelaksanaan aturan tersebut.
“Kami sudah menjelaskan ke WTO, langkah pertama adalah edukasi, kemudian dua tahun setelah itu baru pembatasan berlaku,” ujar Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, kepada Reuters.
Rencana pelabelan ini mencakup aturan ketat seperti pembatasan iklan hingga larangan penjualan produk berlabel merah di sekitar sekolah.
Sistem pelabelan “traffic light” dengan label merah untuk produk tinggi gula, garam, lemak, serta hijau untuk kadar rendah sedianya diluncurkan pada 2024.
Baca Juga: Menakar Dampak Cukai Minuman Manis dan Label Gizi pada Industri Makanan dan Minuman
Namun, implementasi penuh baru akan berlaku pada akhir 2027 setelah masa transisi.
Menurut Tarmizi, hingga akhir 2025 perusahaan masih diperbolehkan menggunakan label mandiri dengan skema traffic light, sebelum aturan wajib diberlakukan dua tahun kemudian.
“Mengubah kebiasaan konsumsi memang sulit,” tambahnya.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tekanan industri. OECD mencatat lebih dari 40 negara telah menggunakan sistem serupa, baik secara sukarela maupun wajib.
Singapura, misalnya, sudah lebih dulu menerapkan skema yang menjadi model bagi Indonesia.
Meski begitu, pelabelan pangan kerap kali “tersingkir” dari daftar prioritas legislasi di Indonesia akibat tekanan kuat industri, ujar Diah Saminarsih, pendiri CISDI sekaligus advokat kesehatan publik.
Baca Juga: Industri Mamin Tumbuh Pesat, MoreFood Expo Siap Sambut Peluang
“Industri selalu memberi tekanan. Tapi semakin banyak orang Indonesia jatuh sakit karena penyakit tidak menular, seperti kanker dan diabetes, akibat konsumsi makanan tidak sehat,” katanya.
Dokumen WTO yang diperoleh Reuters menunjukkan produsen pangan AS menilai aturan ini dapat berdampak signifikan terhadap ekspor produk senilai US$54 juta ke Indonesia.
Mereka mendorong pemerintah menunda rencana sambil menunggu masukan dari pihak terdampak.
Badan POM nantinya akan menguji kesesuaian label dengan kandungan produk melalui laboratorium yang ditunjuk pemerintah.
“Langkah ini juga merupakan bagian dari kolaborasi dengan industri makanan dan minuman,” ujar Tarmizi.
Selanjutnya: Rupiah Berpotensi Menguat Terbatas pada Perdagangan Kamis (28/8/2025)
Menarik Dibaca: 10 Merek Sunscreen Lokal Terbaik pada Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News