kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Obral insentif untuk hilirisasi batubara, Ciruss: Itu cacat konsep


Minggu, 18 Oktober 2020 / 20:48 WIB
Obral insentif untuk hilirisasi batubara, Ciruss: Itu cacat konsep
ILUSTRASI. Terminal batubara


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengobral insentif untuk hilirisasi tambang, termasuk bagi komoditas batubara. Insentif diberikan dalam bentuk fiskal maupun non-fiskal. Insentif tersebut berupa izin seumur cadangan tambang hingga pemberian royalti 0%.

Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Ciruss) menilai, perlu ada evaluasi yang menyeluruh terhadap rencana hilirisasi batubara beserta insentif yang dijanjikan pemerintah. Direktur Ciruss Budi Santoso berpandangan bahwa hilirisasi dan insentif yang ada saat ini adalah cacat konsep.

"Hilirisasi batubara itu cacat konsep. Kalau ujung-ujungnya dibakar kenapa harus mengeluarkan uang investasi miliaran dolar," kata Budi kepada Kontan.co.id, Minggu (18/10).

Baca Juga: Sambut insentif hilirisasi batubara, BUMI berharap kontrak Arutmin bisa diperpanjang

Budi menyoroti keekonomian hilirisasi batubara, baik dalam nilai proyeknya maupun produk yang dihasilkannya sebagai substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun gas (LPG).

Budi pun mempertanyakan keekonomian antara produk petrokimia yang dihasilkan dari batubara dibandingkan dengan dari minyak bumi.

Menurutnya, proyek Dimethyl Ether (DME) untuk mensubstitusi LPG pun tidak ekonomis. "Sesuatu yang keekonomiannya rendah dipaksakan maka lebih banyak mudaratnya. Apalagi teknologinya impor. Batubara menjadi minyak yang diterapkan di Afrika Selatan sampai hari ini belum menguntungkan dimana cadangan melimpah dan tidak impor minyak," sambung Budi.

Lebih jauh, dia pun mengkritisi kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal yang diberikan pemerintah untuk hilirisasi batubara. Baik berupa pemberian royalti 0% maupun perpanjangan izin tambang seumur cadangan. Kata dia, konsep hilirisasi jangan sampai salah sasaran, apalagi mengurangi bagian negara.

Budi juga mengingatkan, jangan sampai hilirisasi yang hanya membutuhkan sebagian kecil batubara dijadikan alasan untuk memperpanjang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebagian besar masih dijual secara langsung.

"Jangan sampai pemerintah terjebak dalam permainan itu. Sebuah kebijakan yg cacat, akan menyebabkan kecacatan berikutnya dan akhirnya benefit ekonominya bagi negara tidak akan didapatkan bahkan sebaliknya," terang Budi.

Baca Juga: Ini rekomendasi saham bagi emiten batubara di tengah sentimen positif

Menurutnya, peningkatan nilai tambah yang lebih rasional ialah dalam bentuk briket batubara. Jika dikembangkan, skema ini pun bisa berdampak lebih baik dan juga dapat menekan subsidi LPG dan BBM industri kecil.

Adapun untuk royalti 0%, Budi berpandangan yang perlu dipertimbangkan adalah pengurangan royalti bagi batubara yang dibakar untuk keperluan PLN. Hal itu dengan mempertimbangkan besaran royalti yang didapat sebagai penerimaan negara, serta subsidi pemerintah terhadap biaya listrik PLN.

"Royalti 0% seharusnya sudah diterapkan pada PLN kalu memang pemerintah ingin memberi insentif pada industri dan tentunya akan mengurangi subsidi pemerintah untuk listrik," pungkasnya.

Asal tahu saja, dalam siaran resmi di laman Kementerian ESDM, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Sujatmiko mengungkapkan bahwa ada tujuh skema hilirisasi batubara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture.

"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia," ungkap Sujatmiko.

Baca Juga: Adaro Energy (ADRO) dukung rencana insentif izin usaha seumur tambang

Dalam paparannya, Kementerian ESDM menargetkan penambahan tiga fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.

Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.

Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.

Guna mempercepat hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.

Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti 0% itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara.

Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.

Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi. "Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.

Baca Juga: Ada insentif izin seumur tambang, begini catatan IMEF untuk hilirisasi batubara

Adapun, jaminan perizinan jangka panjang tersebut antara lain dapat merujuk pada UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 47 huruf (f) dan (g), bahwa untuk pertambangan mineral logam dan batubara yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

Pengaturan serupa juga terdapat pada Pasal 83 huruf (g) dan (h). Juga Pasal 169 A ayat (5) yang mengatur khusus untuk pemegang IUPK kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.

Sedangkan terkait royalti 0% terdapat pada UU Cipta Kerja klaster energi-pertambangan. Pasal 128 A ayat (2) mengatur adanya pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×